Jargon “Kembali ke al Quran dan hadits” adalah benar. Tapi bagaimana caranya, disini orang banyak salah mengartikan. Kesalahan ini kemudian berakibat fatal, menimbulkan fenomena paham keagamaan yang keliru dan sempit. Ditambah lagi minimnya memahami literatur keislaman tentang bagaimana sesungguhnya perintah mengikuti Nabi maupun al Qur’an.
Fenomena sekelompok umat Islam yang sering melakukan tuduhan bid’ah dan sesat terhadap umat Islam yang beda tafsir dan madhab adalah buktinya. Bukti bahwa mereka menilai kebenaran sepihak tanpa melihat dan membaca hujjah kelompok yang mereka tuduh bid’ah dan sesat.
Dalam ilmu ushul fikih telah dijelaskan bagaimana cara mengikuti Nabi, hal-hal apa saja dari beliau yang mutlak untuk diikuti, dan apakah aktifitas Nabi yang terkait dengan tradisi juga merupakan sunnah yang juga harus diteladani?
Salah satunya dijelaskan dalam kitab ushul fikih Ta’wil Mukhtalaf al Hadits karya Muhammad Ibnu Qutaybah al Dainuri, Al Shifa bi Ta’rifi Hiquq al Musthafa karya al Qadhi ‘Iyyadh, I’lam al Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim al Jauziyah, dan Al Furuq karya Sihabudin al Qarafi.
Beberapa literatur ushul fikih di atas menjelaskan dengan tegas, kapan Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai utusan dan kapasitas beliau sebagai orang Arab yang pasti lekat dengan budaya Arabnya. Seperti telah dimaklumi, Rasulullah melakukan aktifitas lain di luar pangkat beliau sebagai Nabi; berdagang, pengembala, dan pemimpin politik.
Pada saat beliau dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik, misalnya, baik ucapan maupun perkataan beliau tidak bersifat mutlak. Artinya, hukum atau kebijakan politik itu sekalipun harus tetap diteladani namun sifatnya hanya juz’iyyah atau partikulat. Sangat terikat dengan konteks politik ketika itu.
Artinya begini, sabda dan aktifitas serta pengakuan beliau yang terkait dengan risalah kenabian, seperti shalat, puasa, zakat dan haji adalah aturan yang mengikat terhadap umat Islam. Seluruh umat Islam wajib menjalankannya dengan batas kemampuan masing-masing.
Akan tetapi, segala aktifitas beliau yang terkait dengan tradisi dan budaya lokal orang arab, seperti memakai jubah dan naik onta adalah bagian tardisi sebagai ciri khas orang Arab. Hal yang demikian tidak wajib diikuti. Muslim di Indonesia boleh memakai sarung sebagai ciri khasnya dan busana lain. Sebab aturan utama dalam hukum Islam hanya kewajiban menutup aurat. Teknisnya bisa beragam sesuai dengan adat tradisi yang berlaku di suatu daerah.
Demikian juga kebijakan-kebijakan Nabi dalam bidang politik, sistem politik (nidham siyasi) yang dipraktikkan Nabi ketika itu, seperti aturan-aturan bernegara, sistem pemerintahan, strategi perang dan sebagainya, adalah hasil ijtihad politik beliau. Hal itu bisa sangat relevan ketika itu sehingga dipilih oleh Nabi.
Karena merupakan hasil ijtihad maka berlaku kontekstualisasi sesuai era dan masa. Hal ini terbukti pada saat perang Badar ketika strategi beliau dibatalkan mengambil strategi salah seorang sahabat yang dipandang lebih jitu. Begitu pula saat ijtihad strategi perang beliau kalah jitu dengan strategi Salman al Farisi. Meskipun bisa saja hal itu disengaja oleh Nabi untuk memberikan pelajaran kepada umat Islam, bahwa hal-hal yang sifatnya duniawi harus mengambil hasil ijtihad yang lebih profesional. Sabda beliau: “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian sendiri” sebagai buktinya.
Tegasnya begini, memahami hadits-hadits Nabi yang terkait persoalan politik atau soal keduniawian seperti tradisi dan budaya harus kontekstual. Tidak boleh hanya berlaku pada teks semata melupakan konteks. Begitulah semestinya mengikuti Nabi sebagaimana dijelaskan dalam beberapa literatur disiplin ushul fikih.
Ushul fikih merupakan metodologi hukum Islam. Suatu cara memproduksi hukum Islam (fikih) dari al Qur’an maupun hadits. Denga kata lain, fikih adalah produk ushul fikih. Sementara ushul fikih adalah medium merumuskan kandungan hukum yang ada dalam al Qur’an dan hadits. Maka, untuk kembali ke al Qur’an dan hadits harus mengetahui dan memahami disiplin ushul fikih supaya tidak memahami ayat-ayat al Qur’an dan hadits secara mentah.