Jargon Wahhabi yang berkembang belakangan ini yaitu “Dalam ibadah harus ada dalil yang menganjurkan, bukan dalil yang melarang”. Maksud dari jargon ini setiap perbuatan yang bernilai ibadah harus ada dalil shorih tentang dianjurkannya perbuatan ibadah tersebut. Jika tidak ada berarti bid’ah yang haram.
Hakikatnya, jargon ini hendak menghakimi tradisi-tradisi Nahdlatul Ulama’ yang banyak berkembang di Indonesia, seperti tahlilan, maulid Nabi saw, selamatan dan sebagainya. Berdasarkan jargon ini, tradisi-tradisi yang bernuansa ibadah tersebut harus ada dalil yang secara khusus menunjukkan disyariatkannya itu. Maulid Nabi saw harus ada dalil tentang Maulid Nabi saw, tahlilan harus ada dalil tentang tahlilan, dan begitu seterusnya. Sebab itu, manakala tradisi-tradisi yang dianggap ibadah ini tidak ada dalil yang secara khusus berbicara tentangnya, maka hukumnya haram, karena termasuk bid’ah dhalalah.
Cara berpikir seperti ini bukan tradisi berpikir para ulama. Karena tidak semua praktek ibadah ada dalil khusus secara spesifik berbicara tentangnya. Adakalanya inklud kepada dalil yang lain karena ibadah tersebut termasuk bagian di dalamnya. Seperti teks-teks do’a tertentu yang sesuai orang yang berdo’a, ibadah ini sudah ingklud ke dalam anjuran berdo’a. Tidak perlu secara khusus ada dalil tentang redaksinya.
Perlu diketahui di dalam ilmu Ushul Fiqh, terdapat lafadz ‘Amm dan lafadz Khas. Tentang lafadz ‘amm terdapat kaidah:
إِذَا وَرَدَ فِي النَّصِّ الشَّرْعِيِّ لَفْظُ عَامٌّ وَلَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَخْصِيْصِهِ، وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى عُمُوْمِهِ وَإِثْبَاتِ الْحُكْمِ لِجَمِيْعِ أَفْرَادِهِ قَطْعًا
Artinya: “Apabila terdapat nash syar’i yg bersifat ‘Am, dan tidak ada dalil yg mengkhususkannya, maka harus membawa lafadz tersebut kepada keumumannya dan menetapkan hukum bagi seluruh satuan-satuannya”
Konsep ini sudah ijma’ dalam Islam. Sehingga seandainya ada yg tidak setuju dg konsep ini, berarti telah menentang ijma’, yang artinya pendapatnya tidak perlu diperhatikan.
Dapat dicontohkan dari konsep ini yaitu sabda Nabi saw mengenai sifat mensucikannya air.
الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Artinya: “Air dapat mensucikan dan tidak menjadi mutanajjis karena sesuatu”
Dalam sabda Nabi saw di atas dapat dipahami bahwa seluruh air dapat dibuat bersesuci. Nabi saw tidak membatasi kepada air sumur, air sungai atau air hujan. Yang penting jika itu bernama air, maka sudah bisa dibuat bersesuci, entah itu air sumur, hujan atau pun air laut. Karena keumuman kata “air”.
Sebab itu, manakala ada sifat air ingin dinafikan dari sifat mensucikan, maka harus ada dalil. Ini yg dimaksud dengan takhsis. Manakala tidak ada, maka tidak boleh menafikannya. Karena dengan menafikan tersebut berarti telah melampaui hak otoritas Syari’ (pembuat syariat).
Begitu juga firman Allah swt tentang anjuran berdzikir. Di dalan surat al Ahzab ayat 41, Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْراً كَثِيراً
Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya” (QS. Al Ahzab: 41)
Umat Islam sepakat bahwa ayat ini tentang anjuran berdzikir kepada Allah swt. Dan anjuran berdzikir ini bersifat umum dalam aspek waktu dan tempat. Allah swt tidak menentukan kapan seseorang disunnahkan berdzikir dan kapan dilarang, begitu juga tempatnya. Sebab itu, jika ada seseorang ingin melarang berzikir di waktu-waktu tertentu, maka harus mampu mendatangkan dalil yg membatasi itu. Manakala tidak mampu mendatangkan dalil khusus, berarti telah melampaui koridor dan kekusaan Allah swt sebagai pembuat hukum.
Inilah alasan mengapa Nahdlatul Ulama’ (NU) selalu meminta dalil manakala tradisi-tradisi yang bernuansa ibadah itu diharamkan. Karena Nahdlatul Ulama’ melakukan serta mempertahankan tradisi-tradisi tersebut berdasarkan dalil umum yang berada dalam al Qur’an. Tentang anjuran membaca shalawat, berdzikir dan hadir serta mengikuti majlis ta’lim sudah banyak dalilnya. Apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama’ berkaitan dengan tradisi-tradisi keagamaan tersebut karena berdasarkan keumuman dalil itu. Selama tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya, maka dalil anjuran bershalawat, berdzikir dan mengikuti majlis ta’lim harus diarahkan kepada keumumannya agar tidak melampaui batas kekuasaan Allah swt dan Rasulullah saw.
wallahu a’lam
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah