perempuan menjaga warung kopi

Perempuan Menjadi Pelayan Warung Kopi?

Era saat ini menuntut kaum hawa untuk merubah paradigma hanya bisa di dapur dan di kasur. Dalam banyak hal perempuan telah tersadar bahwa dirinya bukan mahluk yang diciptakan sebagai objek bagi laki-laki. Gender atau kesetaraan laki-laki dan perempuan telah merubah cara pandang perempuan dalam memposisikan dirinya dalam kehidupan.

Termasuk dalam dunia kerja kaum hawa banyak mengambil bagian dan bahkan lebih produktif dari laki-laki. Sampai-sampai muncul istilah workaholic atau gila kerja. Tidak sedikit perempuan yang gila kerja demi mencapai kesuksesan, baik yang memiliki suami maupun yang belum berkeluarga atau mereka yang berstatus janda. Salah satu pekerjaan perempuan yang banyak dijumpai adalah menjadi pelayan restoran, warung kopi, dan jenis pelayanan lainnya.

Hal itu merupakan kegiatan positif, sebab bagaimanapun juga seseorang tidak boleh memiliki ketergantungan terlalu tinggi terhadap orang lain, sekalipun terhadap suami.

Namun, bagi perempuan muslimah terkadang ada halangan hukum yang tidak membolehkan dirinya melakukan beberapa aktifitas. Alasan aurat, rentan fitnah dan pemicu perbuatan amoral yang biasa ditujukan kepada perempuan sehingga aktifitas mereka menjadi terbatas.

Sebagai contoh adalah warung kopi yang biasa menggunakan tenaga perempuan sebagai pelayan. Disamping menimbulkan daya pikat tersendiri untuk menarik konsumen, juga karena perempuan dipandang lebih telaten melayani pembeli.

Pertanyaannya, bolehkah muslimah menjadi pelayan warung kopi?

Dalam al Qur’an ditegaskan: “Tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu”. (Al Ahzab: 33).

Konteks ayat ini adalah perempuan. Mereka tidak diijinkan untuk keluar rumah serta tidak boleh berdandan ala dandanan orang-orang jahiliah.

Apakah untuk semua perempuan? Ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan ayat di atas dikhususkan untuk istri-istri Nabi saja, sebagian yang lain berpendapat ayat di atas berlaku untuk semua perempuan (umum).

Thahir bin Asyur adalah salah satu mufassir yang berpendapat bahwa ayat di atas dikhususkan untuk istri-istri Nabi, sebab ayat sebelumnya (Al Ahzab: 32) jelas menggunakan redaksi “Wahai istri-istri Nabi”.

Sedangkan al Qurthubi berpendapat bahwa ayat di atas berlaku umum. Muslimah dilarang keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Demikian pula Ibnu Katsir mengatakan, perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa adanya hajat atau kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.

Merujuk pendapat kedua ini, tidak ada peluang bagi perempuan untuk melakukan aktifitas di luar rumah, kecuali karena kebutuhan yang dibenarkan oleh agama, atau karena darurat.

Bagaimana dengan perempuan yang saat ini banyak melakukan aktifitas di luar rumah, seperti bekerja di warung kopi untuk menafkahi keluarga? Apakah harus berhenti?

Tunggu dulu. Islam agama yang luas, tidak memberatkan terhadap pengikutnya dan update terhadap kondisi kekinian. Hukum Islam selalu sesuai dengan kondisi zaman.

Suatu ketika Zainab bin Abdullah al Tsaqafiyah bertanya kepada Rasulullah tentang status dirinya yang bekerja untuk menafkahi keluarga. Tiba dikediaman Rasulullah ia melihat Bilal dan meminta kepadanya untuk menanyakan kepada Rasulullah apakah dirinya mendapatkan pahala dengan menafkahi suami dan anak-anak yatim yang ada dalam tanggungannya.

Rasulullah berkata: “Ya, ia mendapatkan dua pahala. Pahala nafkah keluarga dan pahala sedekah”. (HR. Bukhari).

Hadits dengan tegas mengatakan kebolehan seorang perempuan bekerja untuk menafkahi keluarga.

Dalam kitab I’anah al Thalibin dijelaskan, wajah perempuan boleh dilihat apabila tidak disertai dengan syahwat dan tidak khawatir menimbulkan fitnah. Dalam kehidupan sehari-hari tidak boleh melihat selain wajah.

Dalam konteks hari ini, dimana telah menjadi kebiasaan perempuan bekerja di warung kopi tentu fitnah bisa dihindari dan diminimalisir. Namun soal syahwat itu terjadi pada lelaki yang memandang. Hal itu bisa terjadi tidak hanya di warung kopi, tapi di tempat mana saja bisa terjadi.

Andaipun dua alasan fitnah dan syahwat menjadi penghalang muslimah bekerja di warung kopi, tetapi kebutuhan keluarga bisa menjadi alasan yang lebih kuat akan kebolehan mereka bekerja di tempat tersebut.

Selama berpakaian sopan dan menutup aurat, serta dalam upaya mencari nafkah untuk keluarga, bekerja dimanapun tidak menjadi persoalan, alias boleh.

Bagikan Artikel ini:

About Nurfati Maulida

Check Also

darah haid

Darah Haid Tuntas Tapi Belum Mandi Besar, Bolehkah Berpuasa?

Perempuan haid dilarang berpuasa. Tapi, larangan ini tidak bermakna diskriminasi Islam terhadap perempuan. Puasa ramadhan …

buah takwa

Bentuk Bahagia Menyambut Ramadan

Dalam kitab Durrotun Nashihin, ada yang yang berbunyi: “Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, …