imam ghazali
imam ghazali

Pergulatan Intelektual dan Spiritual Al-Ghazali

Al-Ghazali, nama yang tidak asing di dunia Islam. Ia memiliki banyak karya yang menghiasi laboratorium khazanah intelektual Islam.  Pemikirannya banyak dikaji, diteliti bahkan dikritisi. Buah pemikirannya menjadi landasan pemikiran Islam ortodoks: Sunni —sebuah aliran Islam terbesar di dunia.

Pengaruhnya malang melintang dan melintasi dimensi ruang dan waktu. Tidak heran, ia memiliki pengkritik dari kalangan muslim maupun orientalis dan pembelanya— seperti Goerge Saliba dan Cemil Akdogan. Dari para pengkritiknya ia dicap sebagai tokoh yang menyebabkan kemunduran Islam.

Ia memilki nama lengkap Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al- Ghazali. Lahir pada 450 H. atau 1058 M. di Thus, Khurasan, Iran (Sirajuddin, 2007).  Di kampung halaman al Ghazali inilah,: Khurasan, telah melahirkan sejumlah Sarjana Muslim terkenal seperti Jabir Ibn Hayyan ahli kimia, Nashiruddin al Thusi ahli astronomi, Nizam al Mulk penguasa dinasti Saljuk, dan banyak lainnya.

Pengembaraan Ilmu

Gelar kesarjanaan yang diperoleh berkat ide serta pemikirannya adalah: Hujatul Islam  (pembela Islam), Zainuddin al-Thusi (Hiasan Agama Thus), al Faqih al Syafi’ie (ahli hukum al Syafi’ie) dan banyak lainnya. Dalam dunia barat, ia dikenal dengan sebutan “Algazel.”

Kesarjanaan yang diperoleh oleh al Ghazali tidak spontan. Mulanya ia berguru kepada imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Radzikani di kota kelahirannya, Thus. Lalu pada tahun 465 H./ 1073 M. melanjutkan pengembaraan ilmunya kepada abu Nashr al Isma’il di Jurjani.

Setelah selesai, ia kembali lagi ke Thus. Namun di sana ia masih merasa kurang bekal dalam pencarian berbagai disiplin keilmuan. Perjalanan selanjutnya ia memutuskan untuk berlabuh di Naisabur, kota yang juga banyak melahirkan para sarjana muslim. Di sana al Ghazali berguru kepada imam al Haramain abu al Ma’al al Juwaini, seorang ahli teologi Asy’ari yang terkenal waktu itu. Sampai akhirnya ia mengajar di madrasah Nidzhamiyah milik Wazir Nidzham al Mulk. Dari sanalah kapasitas keilmuwan al Ghazali diperhitungkan.

Selama pengembaraan intelektualnya, al Ghazali banyak mengalami pergulatan pemikiran yang ia rekam sendiri dalam autobiografi yang berjudul al Munqidz min al Dhalal. Pada karyanya ini, ia banyak menumpahkan keluh-kesah dalam pencarian “kebenaran” yang ia cari. Butuh perjuangan yang tidak mudah; pengorbanan yang membuatnya terombang-ambing; serta keteguhan hati dalam menapaki curam dan terjalnya jurang kebodohan.

Pergulatan Pemikiran

Semenjak kecil al-Ghazali memiliki kebiasaan mempertanyakan segala sesuatu— gelisah akan suatu hal yang dianggapnya masih ikut-ikutan. Hingga runtuhlah pagar taklid yang ia terima serta hancurnya banteng keyakinan yang diajari sejak kecil. Dengan kegelisahan pikiran, ia memutuskan untuk menggeluti beberapa ilmu untuk memperoleh “kebenaran” yang dicari.

Pada penuturan dalam autobiografinya, al-Ghazali menyadari bahwa pengetahuannya  hanya terbatas kepada empirisisme yang mengutamakan unsur a posteriori: pengetahuan yang diperoleh setelah pengalaman. Ia berangkat dari pertanyaan “apakah sumber pengetahuan empiris dapat dijadikan pijakan dalam mencari ‘kebenaran’?” pertanyaan ini merupakan dasar dalam melakukan eksperimen. Ia melakukan pengujian kepada data-data indrawi (data empiris), seperti data yang diterima oleh mata bahwa bintang-bintang terlihat kecil. Namun pada kenyataannya berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintang yang dianggap kecil oleh data indrawi lebih besar dari ukuran bumi.

Atas contoh itu, ia menganggap bahwa data-data yang diterima oleh indra terkadang menipu. Lalu al-Ghazali pindah kepada pendekatan rasionalisme yang lebih mementingkan unsur a priori: pengetahuan yang ada sebelum pengalaman. Satu satunya pengetahuan yang dapat diterima dan  dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh akal. Contohnya bilangan 10 lebih besar dari bilangan 5. Ada dan tidak ada tidak akan bisa berkumpul dalam satu waktu. Atau qadim (lampau) tidak akan berkumpul dengan yang hadits (baru) dan begitu seterusnya. Tidakkah pengetahuan rasional lebih bisa diterima pengetahuan empiris?

Namun hal itu dapat disangkal oleh pengetahuan empiris, bahwa bukankah pengalaman lebih nyata dibandingkan dengan akal? Atas dasar apa kita meyakini bahwa akal lebih valid dari pengalaman? Di sini al-Ghazali mengalami ketidakpuasan terhadap pendekatan empirisisme dan rasionalisme. Keduanya saling menyalahkan dan membuat al-Ghazali berpaling kepada pendekatan intuitif (mukasyafah), yang pada pengetahuan inilah seseorang akan sampai kepada “kebenaran sejati.”

Berangkat dari kelemahan empirisisme dan rasionalisme, ia menyerang ilmu kalam, aliran Bathiniyah dan Filsafat yang sebelumnya ia kaji dan pelajari— yang bersendikan empirisisme dan rasionalisme, dengan gagasan intuituif yang dibangunnya

Ilmu pertama yang digelutinya adalah ilmu tauhid atau teologi. Ketertarikan ia terhadap ilmu ini bisa dilihat bahwa ia menyusun kitab khusus tentang teologi: al Iqtishad fi al I’tiqad. Adapun tujuan dari ilmu ini adalah menjaga akidah ahlus sunnah wal jama’ah sebab telah tercemari oleh golongan ahlul bid’ah.

Walakin, kejadian di lapangan tidak sama dengan harapan di atas. Wacana yang dikembangkan oleh teologi berangkat dari asumsi atau hipotesis lawan. Selain itu, banyak berapologi dalam menanggapi wacana lawan daripada membahas esensi teologi itu sendiri. Pembahasan teologi berkutat kepada dzat atau substansi; sifat atau aksiden dan lain sebagainya, bukan lagi membela sunnah. Dalam keputusasaan al-Ghazali beranggapan bahwa ilmu ini tidak membawanya kepada “kebenaran” yang ia cari.

Bagian kedua yang dikritis oleh al Ghazali adalah mazhab al-Ta’limy/ aliran Bathiniyah. Aliran ini merupakan sekte Syi’ah Isma’iliyah yang juga banyak dianut oleh masyarakat waktu itu. Ajaran dalam mazhab ini bahwa setiap orang butuh pembimbing— imam— yang ma’shum (terhalang dari dosa) untuk mencapai “kebenaran.” Pendapat ini ditentang keras olehnya, bahwa tidak ada yang ma’shum kecuali nabi Muhammad Saw. dan juga setiap orang bebas berijtihad dalam menetapkan hukum tanpa harus menunggu sang imam ma’shum tersebut.

Bagian ketiga yang diserang oleh al-Ghazali adalah filsafat. Ia belajar filsafat secara otodidak selama tiga tahun: dua tahun membaca dan satu tahun memahaminya. Pada bagian ini al-Ghazali menyusun kitab khusus dalam menggempur filsafat yang baru mendapatkan tempat di dunia Islam dengan karyanya yang berjudul tahafut al Tahafut (kerancuan para filsosof). Ajaran filsafat al Farabi dan Ibnu Sina mendapat serangan hebat dari al-Ghazali. Menurutnya banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan bahkan bertentangan dengan ajaran pokok Islam. sehingga “kebenaran” yang dicari tidak akan berlabuh pada bagian ini. Jadi yang menjadi poin di sini bahwa al Ghazali sebelum mengkritik filsafat, ia belajar dan memahami secara betul persoalan filsafat yang dikritisinya.

Akhir pencarian al-Ghazali terhadap “kebenaran” berlabuh kepada tasawuf (mistisme Islam). dalam fase ini, tidak butuh penyusanan bukti-bukti atau data data yang valid, akan tetapi kehadiran cahaya Allah yang diberikan kepada al-Ghazali membuka pintu menuju “kebenaran sejati” yang salama ini dicarinya.

Pergulatan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang pemikirannya banyak memberikan pengaruh di dunia barat dan timur: baik pro dan kontra. Ia dianggap sebagai tokoh yang menyebabkan kemunduran dalam dunia Islam: serangannya terhadap filsafat dan pengajaran asketisme dalam Islam. Tetapi sebagai seorang hamba yang diberi kebebasan berpikir dan memilih, ia telah membuktikan akan perjuangan dan keteguhannya dalam proses mencari “kebenaran.” Pemikirannya sampai saat ini dipelajari dan dikaji oleh para pecinta dan pembencinya; baik di dunia Islam maupun di dunia barat. Wallahu A’lam

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Rofiq

Check Also

jangan takut berpuasa

Rapor Puasa: Mengevaluasi Tindakan Kita terhadap Makanan

Ramadan merupakan bulan yang wajib bagi umat Muslim untuk melaksanakan puasa selama satu bulan penuh. …

pola makan

Posting Makanan atau Minuman di Siang Hari Bulan Puasa, Bagaimana Hukumnya?

Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Perbuatan menahan diri dari makan, minum dan segala …