Secara kodrati amarah adalah fitrah manusia, ia tidak akan pernah mampu disentuh oleh aturan apapun. Karena ia adalah manusiawi. Amarah banyak ragamnya, tergantung pada sebab yang menyulutnya. Dampak dari amarahpun bisa positif, bisa juga negatif tergantung dari tepat atau tidaknya tersalurkan.
Kerapkali amarah dilampiaskan tidak pada tempatnya atau bahkan melebihi dosis yang sepatutnya, hingga mampu memicu konflik yang lebih parah dari pada sebelumnya dan hanya akan menghasilkan penyesalan.
Secara emosional amarah diartikan sebagai impuls yang muncul mendadak akibat suatu rangsangan dari dalam maupun dari luar yang berujung pada tindakan tanpa kendali dan lumrahnya merusak. Oleh karena itu, Imam Ghazali mengatakan amarah ibarat api yang meletup-letup dan tidak mungkin dipadamkan, walaupun demikian, amarah bisa dikendalikan, tentunya, dengan upaya keras.
Lalu bagaimana upaya untuk mengendalikan amarah tersebut?
Menurut al-Ghazali, amarah lahir dari kondisi psikologis manusia yang berinteraksi dengan pengalaman subjektif yang terungkapkan melalui reaksi spontanitas wajah atau tubuh. Seperti mata melotot, dahi berkerut, tangan yang melayangkan pukulan, kaki menendang dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, seseorang yang dikuasai amarah hendaknya menyadari akibat buruk dari amarahnya. Dan menyadari akibat baik bila ia mampu mengendalikannya dengan menahan amarahnya sekuat mungkin.
Lebih lanjut al-Ghzali mengingatkan bahwa hidup tidak harus sesuai dengan apa yang ia inginkan. Namun, hidup ini berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Menyadari akan rotasi kehidupan seperti itu, akan mampu mengendalikan amarahnya.
Cara kedua bila cara di atas tak membuahkan hasil yang nyata, maka berusahalah untuk bersabar dan menerima terhadap apa yang dialami. Karena tindakan tersebut menurut al-Ghazali, sebagai bukti konkrit kedewasaan berfikir dan bertindak. Jangan sampai kita dikuasai amarah. Tetapi berupaya kitalah yang menguasainya. Sabda Nabi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَسَلَّم قَالَ (لَيْسَ الشَدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ)
Artinya : Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda “orang kuat bukanlah orang yang tahan banting akan tetapi orang yang kuat ialah yang mampu mengendalikan diri saat amarah”. HR. Bukhari:5769
Cara berikutnya adalah berusaha memaafkan kesalahan orang lain walaupun sulit untuk melupakan kesalahan tersebut. Karena menurut al-Qur’an, memaafkan adalah sikap yang mampu mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang baik. QS:Al-Baqarah:237. Pribadi yang mampu menempatkan diri pada ruang kemanfaatan untuk sesama, bukan malah menjadi biang utama kesengsaraan sesama.