Jakarta – Di era teknologi digital yang sangat canggih sekarang ini, ancaman radikalisasi semakin besar. Pasalnya, kelompok radikal tidak hanya menyebarkan ideologinya secara konvensional, tetapi mereka aktif menggunakan teknologi digital melalui internet. Bahkan mereka melakukan propaganda dengan menunggangi agama melalui penceramah mereka di berbagai platform media sosial.
“Radikalisme yang menunggangi agama sering kali memanfaatkan penceramah agama sebagai pintu masuk infiltrasi ideologi. Namun, para penceramah ini juga bisa menjadi pintu keluar jika mereka menyampaikan pesan yang moderat, menyejukkan, dan mempersatukan,” ujar Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid SE, MM, talkshow di TVRI, Kamis (14/11/2024).
Menyikapi kondisi itu, kata Nurwakhid, BNPT mengedepankan strategi kolaboratif atau pentahelix. Strategi tersebut melibatkan sinergi antara lima elemen utama, yakni pemerintah, masyarakat, media, akademisi, tokoh agama, dan pengusaha, dalam menghadapi ancaman radikalisme, khususnya di ruang digital.
“Handphone atau gadget kita itu tanpa batas, borderless. Media sosial dan perangkat digital lainnya sangat potensial digunakan oleh kelompok radikal terorisme untuk menyebarkan ideologi ekstrem dan meradikalisasi masyarakat,” ujar Nurwakhid.
Pada kesempatan tersebut, ia menekankan pentingnya memperkuat strategi pentahelix dalam melawan radikalisasi, terutama di dunia digital. Pasalnya, kelompok radikal menggunakan saluran digital seperti media sosial untuk menyebarkan ideologi ekstrem yang dapat mengancam keamanan nasional.
Nurkwahid kembali menegaskan bahwa kolaborasi pentahelix antara pemerintah, masyarakat, media, akademisi, tokoh agama, dan pengusaha merupakan kunci untuk menangkal infiltrasi ideologi radikal.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah