salman al farisi
salman al farisi

Rihlah Salman Al Farisi (1): Rela Tinggalkan Status Bangsawan Demi Mencari kebenaran

Sahabat Rasul merupakan orang-orang yang memeluk Islam dengan mendalam. Keislaman para sahabat tidak berdasarkan paksaan maupun karena ikut agama orang tua. Pencarian kebenaran, hikmah yang diberikan oleh Allah, maupun karena keteladanan Nabi Muhammad menjadi ragam cara sahabat menenggelamkan diri dalam pelukan islam. Dengan latar belakang tersebut, tak heran jika sahabat rasul merupakan generasi awal Islam yang sangat mendalam pemahamannya terhadap Islam.

Ada satu sahabat rasul yang dikenal sebagai sahabat yang amat bijaksana, cerdas, dan ahli strategi perang. Berkat strategi parit yang diusulkannya Islam memperoleh kejayaan pada perang Khandak Dialah Sahabat Salman Alfarisi.

Salman Al Farisi adalah seorang panglima andalan Rasul pada masa awal-awal Islam. Keahliannya dalam menentukan strategi sudah terbukti ampuh untuk menumpas musuh-musuh Islam. Siapa sangka, panglima perang yang gagah berani ini menempuh jalan terjal bahkan mendaki dalam perjumpaan dengan agama Islam. Rasa penasaran akan ajaran yang paling benar dengan pikiran terbuka mengenai banyak hal akhirnya mengantarkannya kepada Islam. Tak heran, dengan berbagai sifat yang melekat pada dirinya, mengantarkannya kepada julukan Luqmanul Hakim.

Disadur dari buku “Perjalanan Mencari Kebenaran, Seorang Laki-Laki Bernama Salman Al-Farisi” karya DR. Shaleh As-Shaleh, Salman menceritakan Rihlah spiritual-nya kepada Sahabat Abdullah bin Abbas, kemudian Abdullah bin Abbas menceritakannya kepada sahabat lainnya.

Salman Al Farisi merupakan sahabat Rasul Saw yang berasal dari negara Persia, sesuai dengan Laqobnya. Nama belakang sahabat Salman “Al Farisi, red” merupakan nisbat yang menandakan bahwa beliau berasal dari negeri Persia, tepatnya di desa Jayyun kota Isfahan. Salman merupakan anak dari Ruzbeh, seorang bangsawan/tuan tanah kaya raya yang mempunyai banyak tanah garapan. Dengan status sosial yang tinggi di daerahnya, tak heran jika Salman tumbuh menjadi laki-laki yang memiliki kecerdasan, ketangkasan, dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Negara Persia pada masa-masa awal Islam, masih memeluk agama nenek moyang mereka yaitu agama Majusi atau Zoroaster. Agama yang dianut oleh masyarakat Isfahan pada waktu itu adalah agama yang menyembah api dengan Zarathustra sebagai pelopor ajarannya. Agama ini mensucikan api sebagai elemen murni menuju pemujaan Ahura Mahda, maka tak heran jika mereka sangat memuliakan api dan seakan-akan menyembahnya.

Salman yang merupakan anak seorang bangsawan memiliki akses kuhusus untuk masuk ke kuil api atau biasa disebut dengan Otash. Pada suatu saat dia mengambil peran dalam peribadatan kaum Majusi. Dengan sifat yang baik ditambah lagi status kebangsawanan, Salman didapuk untuk menjadi penjaga api di Otash tempatnya tinggal.

Pada suatu hari, Salman diminta ayahnya untuk memeriksa kebun-kebun milik keluarganya yang tersebar di berbagai wilayah. Dalam perjalanan menuju kebun keluarga, Salman menjumpai gedung yang tampak berbeda dengan gedung-gedung yang pernah ia jumpai, ia melihat ada semacam lambang keagamaan terpasang di depan gedung. Salman memandangi orang-orang yang lalu lalang di gedung tersebut. Tak hanya itu, Salman juga menjumpai orang-orang tersebut melakukan serangkaian laku spiritual. Setelah melihat hal tersebut, rasa penasaran Salman mulai bangkit. Setelah bertanya-tanya akhirnya Salman tahu bahwa gedung ber simbol itu bernama gereja, tempat orang-orang beragama Nasrani menjalankan ibadah.

“apa yang kalian lakukan?” tanya  Salman.

“kami melakukan sholat sebagaimana agama kami,” jawab seseorang yang lewat di depannya.

“apa agama kalian dan dari mana asalnya?” sahut Salman.

“agama kami adalah Nasrani. Agama yang paling benar, penyelamat domba-domba yang tersesat. Isa putra Marya adalah juru selamat kami. Agama kami berasal dari Syam, tanah suci agama-agama samawi berasal.”

Rasa penasaran Salman-pun berubah menjadi takjub dan takjub menjadi tertarik. Setelah melihat peribadatan kaum Nasrani, Salman menilai bahwa agama Nasrani memiliki cara beribadah yang lebih baik dan memiliki nilai kebenaran dalam ajarannya. Hingga Salman berujar.

“saya berkata pada diri saya sendiri ‘Sungguh aku tidak pernah menjumpai agama yang lebih baik dari agama kami (Majusi). Namun saat ini, di depan mataku hadir sesuatu yang lebih baik peribadatannya dan nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya’ saya tidak beranjak dari gereja dan tetap takdzim melihat kegiatan mereka. Sungguh aku tetap seperti itu hingga matahari terbenam, saya tidak pergi ke kebun keluarga kami,” ujar Salman. Andaikata salman tidak dicari oleh pembantunya, Salman tidak akan beranjak dari tempat itu.

Sesampainya di rumah Salman menceritakan apa yang dilihatnya kepada sang Ayah. Dia berujar bahwa agama Nasrani punya cara sholat yang lebih baik daripada cara sholat agama Majusi yang selama ini mereka anut. Salman menyatakan bahwa Nasrani juga merupakan agama yang benar daripada agama yang selama ini mereka anut. Mendengar cerita yang demikian membuat muka Ayah  Salman menjadi merah-padam. Sang Ayah menegaskan bahwa dalam agama Nasrani tidak ada kebenaran dan Majusi adalah ajaran terbaik dan benar. Meski demikian, Salman bersikeras meneguhkan pendiriannya bahwa Nasrani adalah agama yang benar.

Karena pendiriannya yang begitu kuat, Ayah Salman mengancam akan merantai kedua kakinya serta menjadikannya tahanan rumah. Meski diultimatum oleh sang Ayah, pendirian Salman tetap pada agama Nasrani. Dia sama sekali tidak takut dengan ancaman sang ayah, bahkan keinginannya untuk belajar ajaran Nasrani semakin menggebu.

Keesokan harinya Salman berkirim pesan kepada pihak gereja. Dalam suratnya dia meminta agar pihak gereja mengabarinya jika ada pedagang dari Sayam datang ke Persia dan mengabarinya jika pedagang itu kembali ke Syam. Tak lama kemudian surat jawaban dari pihak gereja pun datang. Mereka menegabarkan bahwa pedagang dari Syam telah tiba dan akan kembali ke Syam dalam beberapa hari kedepan. Seolah tak mau kehilangan momentum, Salman dengan kecerdikannya berhasil melarikan dari rumah dan ikut membonceng pedagang kembali ke Syam.

Demi mencari kebenaran, Salman rela meninggalkan status kebangsawanannya. Tak hanya sampai situ, Salman bahkan menempuh jalan yang terjal dan mendaki di setiap kakinya melangkah.

Bagikan Artikel ini:

About Arbabun Nuha

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Mahasantri Monashmuda Institute, Alumni PonPes Shirojuth Tholibin Brabo