Sanad ilmu agama
Pentingnya Sanad Keilmuan

Rihlah Ilmiah dan Ketinggian Sanad

“Tidak ada kebahagiaan dalam mencari ilmu kecuali orang yang mencarinya dalam serba kekurangan”, pesan hangat Imam Syafi’i yang menyentuh generasi milenial agar tidak terlena di zona nyaman. Kuatnya himmah (cita-cita) umat dahulu sampai  kebahagiaan pun ditemukan dalam mencari ilmu. Jalan terjal yang mesti dilewati sekaligus dinikmati. Keteguhan Imam Syafi’i merupakan contoh kesabaran ulama Salaf sebagai pencari ilmu, bukan “penunggu” ilmu. Tidak dipungkiri, Himmah umat Islam sekarang tidak sebesar himmah umat zaman dahulu, ditambah marakya godaan serba instan, romantisme sejarah dan formalitas ijazah.

Al-Imam al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit (392- 463 H) yang disebut al-Khatib al-Baghdadi mengarang kitab tentang perjalanan mencari hadis;“Rihlah fi Thalab al-Hadis”. Al-Khatib al-Baghdadi mulai mengaji tahun 403 H di masjid Baghdad dan pindah menekuni fikih madzhab Syafi’i dan kembali menekuni hadis hingga menjadi pembesar hadis di Baghdad.  Pada tahun 444 H dirinya menjalankan ibadah haji ke Mekkah dan waktu perjalannnya dipakai mengkhatamkan al-Qur’an dan mengajarkan hadis meskipun ketika itu sedang diatas kendaraan. Ketika haji, al-Khatib minum air zam-zam tiga kali dan memohon kepada Allah agar bisa berhaji tiga kali, dan doanya dikabulkan oleh Allah. Pada tahun 445 H melanjutkan studi sanadya ke Damaskus.

Syekh Dr. Nuruddin ‘Itr; Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Sunnah Universitas Damaskus menceritakan kondisi ulama Salaf yang rela berkorban dan mencurahkan seluruh tenaganya untuk ilmu. Mereka menempuh jarak jauh, makan roti kering, mengenakan pakaian lusuh, menanggung cobaan berat untuk medapatkan ilmu, bahkan hanya untuk mendapatkan satu masalah ilmu atau sekedar mendengarkan satu buah hadis.

Kitab “al-Rihlah fi Thalab al-Hadis” merupakan bukti capaian ulama besar dengan ketinggian cita-cita serta kemuliaan tujuan dan sarana. Ini menginspirasi kebangkitan kaum muda dalam menekuni disiplin atau bahkan lintas disiplin ilmu sehingga suluk (cara) ulama dahulu bisa dilanjutkan, dan siyahah (rekreasi) keilmuan dan penyerapan faedah bisa terus dilestarikan. Kebiasaan ulama secara turun temurun adalah mengenali periwayat (narator) melalui penelitian haliyah (prilaku), kemudian kesahihan berita yang disampaikan hingga akhirnya muncul ilmu pertimbangan orang alim yang disebut “Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil” (ilmu mencela dan memuji). Ilmu ini merupakan pondasi ilmu hadis.

Syekh Nuruddin Itr menyebutkan bahwa Allah mengistimewakan umat Nabi Muhammad dengan tiga keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya; sanad (isnad), nasab (ansab) dan i’rab (nahwu). Dalam hal keilmuan, nasab dan karya di bidang hadis sekalipun bukan jaminan kealiman atau kecerdasan seseorang. Yahya bin Muin tidak menggolongkan anak muhaddis dan penulis hadis di negaranya yang tidak pernah rihlah (travelling ilmu/hadis) sebagai kalangan cerdas. Tela’ah sejarah membuktikan bahwa mayorias para perawi, terutama mudawwin (kodifikator) hadis pernah melakukan rihlan lintas negara.

Sebagai sanad pemahaman agama, hadis merupakan pengembangan ilmu yang pertama dari al-Qur’an. Meksipun Nabi Muhammad seorang ummi; tidak mengenal baca tulis, Nabi merupakan arsitek budaya baca-tulis. Ini bertolak pada prinsip bahwa ilmu Nabi tidak mungkin datang kecuali dari Allah. Kemudian ilmu Nabi didapatkan oleh Sahabat melalui talaqqi atau kontak langsung sebagaimana al-Qur’an diterima oleh Sahabat dengan amanah, stiqah (kepercayaan) dan kemutawatiran di kalangan mereka.

Penjagaan sanad adalah perintah Allah untuk sekelompok masyarakat agar menempuh hidup dengan tafaqquh fi al-din sebelum memberikan indzar (peringatan) kepada masyarakat. Cara penjagaan sanad adalah mendahulukan yang paling tinggi. Ibnu Shalah mengatakan; “jika seseorang sudah khatam mendengarkan guru yang sanadnya tinggi (al-awali) dan prioritas di negaranya, maka hendaknya rihlah (pergi) ke negara lain”.  Diantara tujuannya adalah mendapatkan hadis, mengkonfirmasi hadis, meraih sanad paling tinggi (minim mata rantai), meneliti haliyah (prilaku) periwayat atau berdiskusi (mudzakarah) dengan ulama tentang kritik dan illat hadis.

Selain itu, rihlah memiliki beberapa faedah; memperkuat karakter ilmiah, menyebarkan ilmu, memperluas wawasan, mengembangkan keutamaan dan kesempurnaan jiwa dan menambah persahabatan baru. Faedah-faedah ini bisa diperoleh dengan memenuhi adab-adab rihlah ilmiah; mendahulukan belajar dari ulama di negaranya, memilih tujuan rihlah yang baik, memperhatikan ketersediaan ilmu atau hadis baru, mengutamakan mudzakarah dengan para muhaqqiq dan memperhatikan adab bepergian (safar) secara umum.

Al-Hafidz Ibn Hajar dalam kitab Syarah al-Nukhbah menyebut hakekat rihlah dilakukan untuk mendapatkan apa yang tidak dimiliki dan hendaknya memperbanyak ngaji sebagai tujuan yang  lebih diminati dibanding memperbanyak guru. Tujuan aslinya dirayah (pemahaman) bukan sekedar riwayah (penyampaian)  meskipun memperbanyak riwayat terkadang untuk menguji dirayah.

Tidak sedikit orang alim yang memilih pindah atau rihlah dari tempat sempit dan kecil untuknya, ke tempat luas dan memadai untuk pengamalan dan penyebaran ilmunya. Dengan kata lain, mengambil kesempatan yang membuatnya “lebih manfaat”, tidak sekedar manfaat. Syekh Izzuddin bin Abdissalam rela meninggalkan kota Karak, Suriah ke Kairo, Mesir untuk menyebarkan ilmu. Ketika bertemu penduduk Karak, dia diminta tinggal di dekat rumahnya. Syekh Izzuddin spontan menjawab;

بَلَدُكَ صَغِيْرٌ عَنْ عِلْمِيْ

“Negaramu (Syam) terlalu kecil untuk ilmuku”

Yahya bin Muin ketika sakit menjelang wafatnya ditanya; “apa yang sedang kamu inginkan ?”, dia menjawab; “rumah yang sepi (menghadap Tuhan) dan sanad yang tinggi”. Abu al-Aliyah mengaku mendengarkan riwayat langsung dari lisan para sahabat Nabi setelah perjalanan jauh dari Bahsrah ke Madinah. Ali bin al-Madini melakukan perjalanan dari Irak ke Mekkah untuk bermudzakarah dengan Sufyan bin Uyainah. Kemudian Ibn Uyainah mengakui sebab kecintaannya kepada Ibn al-Madini dengan mengatakan; “Saya belajar darinya lebih banyak daripada dia belajar dariku”.

Namun demikian, terkadang seseorang yang dianggap memiliki  sanad riwayah paling tinggi di suatu negara tidak berbanding lurus dengan sanad dirayah (pemahaman) yang dimiliki. Di negara Sudan; Syekh Musa’ad merupakan sosok paling masyhur dalam bidang hadis dan memiliki sanad riwayah paling tinggi meskipun juga dikenal Salafi (baca: wahabi) dan bahkan mendukung ISIS. Ini membuatnya ditetapkan sebagai tahanan rumah sejak pemerintahan Omer al-Bashir.

Selain faktor keilmuan, faktor politik juga mempengaruhi munculnya rihlah umat zaman dahulu sebagaimana pengaruh  dinasti Umayyah terhadap minimya riwayat Ahlul Bait dalam kitab-kitab Sunnah. Sebuah ungkapan populer menyebut bahwa seandainya tidak ada mihnah (konflik politik) maka tidak akan ilmu klarifikasi hadis (musthalah hadis).

Jika di zaman serba manual tempo dulu, rihlah seorang alim atau sastrawan dari plosok ke tempat “orbit” menjadi sebab ilmunya tersebar ke penjuru dunia, maka di era sekarang, orang-orang alim menyebarkan ilmunya melalui medsos dan sarana-sarana digital yang menembus jarak dan sekat-sekat geografis. Hanya saja persoalan haliyah atau tingkah laku sebagai uswah (keteladanan) seorang ulama tidak dapat ditemukan, apalagi didapatkan melalui medsos. Sebagaimana disebutkan dalam kitab ta’lim muta’allim bahwa seutama-utama ilmu adalah ilmu prilaku dan seutama-utama amal adalah menjaga perilaku.

Oleh karena itu, dalam mencari ilmu agama tetap diperlukan talaqqi atau mulazamah (membersamai) seorang guru yang alim, syukur-syukur memiliki sanad yang tinggi. Ibarat travelling story, ketinggian sanad diperlukan agar rekaman peristiwa dan berita bisa lebih terjaga keasliannya.

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …