Alissa Wahid
Alissa Wahid

Saatnya Bangsa Ini Meredam Fanatisme dan Menjaga Warisan Persatuan

Jakarta – Aktivis kemanusiaan sekaligus Direktur Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Wahid, menyerukan pentingnya merawat kembali persatuan nasional di tengah menguatnya gelombang intoleransi dan fanatisme kelompok. Menurutnya, tantangan sosial yang akhir-akhir ini terjadi di sejumlah daerah seperti Pemalang, Depok, Sukabumi, dan Padang menjadi peringatan bahwa kohesi sosial bangsa tengah diuji.

“Yang sama jangan dibedakan, yang beda jangan disama-samakan,” kutip Alissa dari pesan luhur Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (31/7/2025). Bagi Alissa, kutipan ini menggambarkan kunci keseimbangan antara menghormati keberagaman dan menjaga kesatuan bangsa.

Ia menggarisbawahi bahwa Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam mengelola perbedaan, terutama di tengah menguatnya politik identitas dan munculnya tafsir keagamaan yang eksklusif. Menurutnya, fanatisme kelompok yang hanya mementingkan kebenaran versinya sendiri akan memunculkan budaya menang-menangan, yang berbahaya bagi persatuan.

“Fanatisme semacam ini melahirkan kecurigaan, menghapus empati, dan menciptakan musuh imajiner dari kelompok yang berbeda. Jika dibiarkan, ini bisa menggerogoti fondasi bangsa kita,” tegas Alissa.

Jebolan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini juga menyoroti dampak buruk media sosial, tempat di mana ujaran kebencian, provokasi, dan penggunaan buzzer sering kali tidak terkendali. Menurutnya, pemerintah harus aktif menciptakan ekosistem digital yang sehat, sekaligus menegakkan hukum secara adil tanpa tunduk pada tekanan kelompok mayoritas.

Ia mengingatkan, ketika hukum digunakan untuk memenuhi keinginan mayoritas semata, hak-hak kelompok minoritas bisa terabaikan. Hal ini, kata Alissa, tercermin dalam berbagai kasus penolakan dan persekusi terhadap rumah ibadah kelompok minoritas – baik itu umat Muslim di wilayah non-Muslim maupun sebaliknya.

“Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika seharusnya bukan hanya menjadi slogan, tapi menjadi kompas moral yang konkret dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan hukum,” ungkapnya.

Alissa mengajak seluruh masyarakat untuk kembali kepada nilai-nilai dasar bangsa yang menjunjung kemanusiaan, keadilan, dan persaudaraan. Ia menekankan bahwa persekusi atas nama agama tidak bisa dibenarkan dalam negara yang berketuhanan.

“Semua agama mengajarkan kasih sayang dan membawa rahmat, bukan kebencian,” tandasnya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

084039400 1760199435 830 556

Pesan Habib Ja’far: Manfaatkan AI Sebagai Tools, Bukan Rujukan Utama Soal Persoalan Agama

JAKARTA — Perkembangan zaman tidak bisa dinapikan oleh masyarakat, termasuk perkembangan teknologi yang mempermudah keperluan, …

Bincang Jurnal

Perkuat Literasi dan Iman Untuk Bendung Penyebaran Radikalisme di Media Baru

Purwokerto — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan …