Banyak tradisi Ramadan yang sangat unik di tengah masyarakat. Sebagian memiliki dalil, dan selebihnya tidak. Lalu, apakah tradisi ini menjadi bid’ah?
Suatu ketika Umar bin Khattab keluar di malam bulan Ramadan. Umar melihat suasana pemandangan masjid dengan gairah umat Islam menghidupkan malam-malam Ramadan. Ada yang shalat sendirian, ada pula yang shalat dalam kelompok kecil-kecil dengan adanya imam masing-masing. Ia merasa kurang baik dengan kondisi pelaksanaan shalat itu berbeda-beda dan berpencar.
Umar lalu berijtihad : Aku berpendapat seandainya mereka dikumpulkan dalam satu jamaah di belakang seorang imam, tentu lebih baik.’ Maka beliau pun mengumpulkan mereka dan mengangkat Ubay bin Ka‘ab sebagai imam mereka. Beberapa malam berikutnya, Umar kembali mendatangi masjid dan melihat kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih berjamaah dengan rapi di belakang satu imam. Melihat pemandangan ini, sang Khalifah berkata : ini adalah sebaik-baiknya bid’ah.
Umar dan Gerbang Bid’ah Seputar Ramadan
Umar mengawali dan membuka pintu bagi lahirnya bid’ah-bid’ah yang baik yang mengitari bulan Ramadan. Karena ibadah puasa Ramadan ini berjalan dalam waktu satu bulan, banyak ruang sosial dan budaya yang memungkinkan munculnya beragam bid’ah di bulan Ramadan. Banyak sekali inovasi dan kreatifitas dalam pembentukan budaya dan tradisi yang menyemarakkan Ramadan.
Dalam kasus jamaah shalat tarawih dari cerita di atas, Khalifah Umar bukan mengadakan hal baru dalam shalat tarawih, tetapi berijtihad dengan penetapan cara baru agar umat lebih seragam. Bukan berarti yang shalat sendirian tidak sah, tetapi cara baru dengan jamaah ini dianggap sebagai hal baru yang tidak diperintahkan Nabi dalam proses pelaksanaan teknis shalat tarawih.
Jika belajar dari fenomena tarawih Sayyidina Umar ini ada semacam keinginan untuk menggairahkan bulan Ramadan dengan cara baru yang mempersatukan umat. Ramadan bukan hanya dilihat sebagai ibadah individual, tetapi memiliki dimensi sosial dan kolektifitas. Munculnya bid’ah tarawih Sayyidina Umar di atas dapat dilihat dari aspek tidak bertentangan dengan syariat dan munculnya maslahah bagi agama dan umat.
Atas dasar ini, Imam Syafi’I tidak secara membabi buta mengkategorikan bid’ah sebagai sesuatu yang tercela dan pasti menyesatkan. Ulama pendiri Madzhab Syafii ini kemudian membagi bid’ah menjadi dua ketgori : 1) bid’ah hasanah, inovasi positifi-konstruktif, hal baru yang tidak bertentangan dengan syariat, tetapi justru membangun kemajuan. 2) bid’ah sayyiah, inovasi negatif-destruktif, hal baru yang bertentangan sekaligus membawa mudharat bagi umat dan agama.
Ragam Bid’ah Ramadan
Pada perjalanan selanjutnya, muncul beragam bid’ah yang mengitari dan mengisi bulan suci Ramadan dari yang bernilai ibadah dan berpahala hingga aktivitas yang lebih netral. Bid’ah yang dimaksudkan di sini adalah hal baru yang tidak dipraktekkan pada masa Rasulullah, tetapi menjadi ciri khas Ramadan di sebagian besar umat Islam saat ini. Bahkan, bid’ah ini sudah dimulai sejak menyambut bulan suci Ramadan seperti ziarah kubur, padusan dan munggahan.
- Tadarus Al-Qur’an
 
Tadarus berasal dari bahasa Arab تَدَارُسُ yang berarti “saling mempelajari” atau “mempelajari bersama-sama.” Dalam konteks Ramadan, tadarus biasanya merujuk pada kegiatan membaca, memahami, dan mengkaji Al-Qur’an, baik secara individu maupun secara berjamaah.
Di Indonesia tadarus menjadi cukup marak di masjid dan mushalla dengan pengeras suara yang menghiasi bulan Ramadan. Fenomena ini menjadi cukup unik dan hanya terjadi di bulan suci Ramadan.
Konon, tradisi ini didasarkan pada Jibril AS menemui Rasulullah setiap malam di bulan Ramadan untuk mudarasah (mengulang dan menelaah bacaan Al-Qur’an). Dari Ibnu Abbas : Jibril selalu menemui Rasulullah setiap malam di bulan Ramadan, lalu mereka berdua saling membaca (tadarus) Al-Qur’an.”
(HR. Bukhari No. 3220, Muslim No. 2308)
- Peringatan Nuzulul Quran
 
Peringatan Nuzulul Qur’an biasanya jatuh pada malam 17 Ramadan. Meski tidak ada dalil pasti yang menyebut tanggal ini, umat Islam di Indonesia menjadikannya sebagai momentum untuk menghayati nilai-nilai Al-Qur’an.
Ketiadaan dalil bukan berarti pelarangan. Umat Islam justru memanfaatkan momentum ini sebagai media pengajian dan ceramah keagamaan, menghayati isi al-Quran, tadarus secara berjamaah, lomba-lomba qurani seperti tilawah, shalat malam dan doa bersama.
- Tradisi Membangunkan Sahur
 
Tradisi membangunkan sahur adalah kebiasaan masyarakat Muslim yang dilakukan untuk mengingatkan dan mengajak sesama Muslim agar tidak melewatkan makan sahur sebelum berpuasa. Di berbagai daerah, membangunkan sahur dilakukan dengan berbagai cara, seperti: Menabuh bedug atau kentongan di masjid dan mushala, keliling kampung dengan alat musik sederhana, seperti rebana atau ember, berteriak atau menyanyikan lagu-lagu sahur dengan pengeras suara dan menggunakan mobil dan speaker untuk mengumumkan waktu sahur.
Ternyata tradisi ini merupakan bentuk solidaritas sesama agar masyarakat tidak lupa bangun untuk melaksanakan sahur. Sahur memiliki posisi penting dalam puasa Ramadan. Nabi bersabda : Sahurlah karena dalam sahur ada keberkahan (HR Bukhari dan Muslim). Bahkan dalam hadis lain sahur menjadi pembeda puasa umat Islam dengan ahlu kitab.
- Tradisi Imsak
 
Kata imsak berasal dari bahasa Arab الإمساك yang berarti “menahan diri.” Dalam konteks puasa, imsak mengacu pada waktu beberapa menit sebelum fajar (subuh) sebagai tanda peringatan bahwa waktu makan sahur hampir habis dan puasa akan segera dimulai.
Di Indonesia, tradisi imsak sering dikaitkan dengan Jadwal Imsakiyah, yang mencantumkan waktu imsak sekitar 10 menit sebelum azan Subuh. Waktu ini dijadikan sebagai pengingat agar umat Islam segera menyelesaikan sahur sebelum benar-benar masuk waktu fajar. Di beberapa kampung pengumuman imsak ini dikumandangkan agar mengingatkan umat Islam agar segera meninggalkan makanan dan minuman.
Tradisi ini memang tidak ada pada masa Nabi. Namun, kebiasaan untuk imsak dapat dilacak dari hadist melalui Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami sahur bersama Nabi, lalu kami beranjak menuju shalat (subuh)”. Anas bin Malik bertanya, “Berapa jarak keduanya (antara sahur dan shalat)?. Zaid bin Tsabit menjawab, “Sekitar bacaan lima puluh ayat al Qur’an”. (HR. Turmudzi).
Dari hadis ini para ulama kemudian mengambil langkah hati-hati untuk imsak. Tujuannya supaya ketika waktu subuh masuk telah benar-benar siap melakukan puasa. Karena kalau imsak tersebut benar-benar dimulai setelah terbitnya fajar khawatir, dan sangat mungkin melakukan aktivititas makan dan minum padahal fajar telah terbit. Bila demikian maka tentu puasanya batal.
- Tradisi Takjil, Buka Bersama hingga War Takjil
 
Secara bahasa, takjil berasal dari bahasa Arab التَّعْجِيْلُ yang berarti menyegerakan. Dalam konteks puasa Ramadan, takjil mengacu pada makanan atau minuman ringan yang dikonsumsi untuk berbuka puasa sebelum makan utama.
Di Indonesia, istilah takjil lebih dikenal sebagai makanan berbuka puasa, seperti kolak, kurma, gorengan, es buah, bubur sumsum, dan sebagainya. Tradisi takjil juga berkembang dalam bentuk tradisi buka bersama, bagi-bagi takjil gratis di masjid, jalan raya, atau lingkungan komunitas. Terbaru ada tradisi war takjil di mana umat Islam bahkan non muslim memburu takjil.
Sebenarnya tradisi ini tidak lepas dari hadis “Manusia akan selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim). Akar kata takjil dari mensegerakan dan menunjukkan tradisi takjil adalah sunnah dan membawa kebaikan walaupun dilakukan dalam berbagai bentuk yang beragam.
- Tradisi Pawai Malam Takbiran
 
Pawai malam takbiran adalah tradisi yang dilakukan oleh umat Islam pada malam sebelum Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan mengumandangkan takbir secara berjamaah. Di berbagai daerah, tradisi unik ini dilakukan dengan berbagai cara berjalan kaki sambil membawa obor atau lampion, menggunakan kendaraan sambil mengumandangkan takbir dengan pengeras suara, Mengiringi pawai dengan bedug dan alat musik tradisional dan Mengadakan lomba takbiran antar masjid atau komunitas
Tradisi ini merupakan puncak kemeriahan dan kegembiraan. Umat Islam meluapkannya dalam bentuk yang beragam dengan takbir. Rasulullah dalam sebuah hadist apabila keluar pada hari Idul Fitri, beliau bertakbir hingga sampai di tempat salat.” (HR. Al-Baihaqi). Artinya, takbir dengan berjalan sebagai bentuk syukur dan kemeriahan tidak masalah.
Dari Nafi menceritakan bahwa “Ibnu Umar bertakbir di Mina pada malam-malam tersebut, lalu orang-orang bertakbir mengikuti takbirnya.” (HR. Bukhari). Karena itulah teknis dan cara mengekspresikan kegembiraan itu sangat beragam. Dan bid’ah tradisi pawai ini telah menjadi penandan dan pengingat khas perayaan Idul Fitri.
- Tradisi Mudik
 
Mudik berasal dari bahasa Jawa “mulih dilik/dhisik”, yang berarti “pulang sebentar.” Dalam konteks modern, mudik merujuk pada tradisi kembali ke kampung halaman bagi para perantau, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mudik menjadi tradisi yang bagi pengalaman bangsa Indonesia telah mempengaruhi aspek kebijakan, ekonomi dan sosial budaya. Perlu kebijakan khusus melibatkan stakeholder dalam menangani mudik ini.
Tradisi mudik akan melibatkan jutaan orang melakukan perjalanan dari kota ke desa menjelang lebaran. Mereka kembali ke kampung halaman dengan tujuan bersilaturahmi dengan keluarga besar, meminta maaf dan mempererat hubungan kekeluargaan, Mengunjungi makam orang tua atau leluhur dan Merayakan Idul Fitri di tempat asal.
Apakah ada dalilnya? Penting untuk terakhir kali disampaikan terkadang kebaikan tidak membutuhkan dalil untuk dilakukan selama tidak ada larangan tegas yang mengaturnya. Seperti perintah Nabi memuliakan tamu bisa dilakukan dalam bentuk tradisi dan gaya budaya apapun karena tidak ada aturan teknis.
Mudik mengandung silaturrahmi, saling memaafkan, ziarah dan tali kasih antar keluarga yang sangat erat. Semangat mudik mengandung nilai-nilai ajaran Islam yang tidak membutukan dalil khusus.
Tradisi dan kebudayaan masyarakat dalam menjalani, mengalami dan memaknai puasa Ramadan menjadi sangat beragam dari tahun ke tahun. Tetapi ini tentu tidak terbatas di Indonesia, tetapi juga negara lain dengan tradisi yang unik. Tradisi inilah yang melanggengkan nilai, membumikan pesan, dan terkadang menglorifikasi semangat dari ajaran seperti Ramadan.
Karenanya, perjumpaan ajaran agama dengan budaya tidak perlu dikhawatirkan menimbulkan bid’ah yang negatif. Di dalam tradisi dan budaya, ajaran agama dapat menyentuh jantung hati masyarakat. Tanpa kebudayaan, agama hanya menjadi aturan formal yang tidak mengakar dan mudah luntur dan terlupakan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah