Tak terhitung jari dan bahkan kalkulator, umpatan dan makian kerap muncul di media sosial yang katanya sebagai ekspresi kebebasan. Berdalih membela tokoh, idola dan yang sangat dicintai seolah menjadi halal mengumpat dalam komen-komen di media sosial. Mereka seolah berjuang, tetapi bermental pecundang.
Mata batinnya telah tertutupi dengan fanatisme. Kebenaran yang dianggap hanyalah kebenaran yang dimiliki. Sehingga merasa benar adalah penyakit yang bisa menumpahkan kata-kata kotor dan makian. Bahkan dengan dalil agama pun mereka akan menyanggah jika tidak sesuai dengan apa yang mereka bela.
Kenapa? Inilah penyakit dari media sosial. Dalam teori psiko-komunikasi, Suler, J. R. (2002) kata-kata kasar dalam media sosial itu mudah dilakukan karena “online disinhibition” atau perasaan terlepas dari berbagai standar moral, akhlak dan dapat berperilaku semaunya tanpa mendapat banyak sanksi dari orang lain.
Media sosial adalah lingkungan baru. Dan banyak tidak memahami dalam lingkungan yang maya ini seseorang juga dituntut untuk mempunyai akhlak. Menjaga lisan merupakan salah satu akhlak mulia yang terus menerus diajarkan oleh Rasulullah. Dan lisan itu sekarang dalam bentuk tulisan yang mewakili perkataan di ruang media sosial.
Dalam al Qur’an, Allah menitipkan pesan kepada Nabi Muhammad untuk mengajarkan umatnya agar selalu memilih kata-kata baik. “Ucapkanlah kata-kata baik kepada manusia” (QS. Al-Baqarah:83). Ungkapan kata-kata baik ini telah diwakili saat ini dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Kenapa perkataan kasar, umpatan, dan cacian dilarang? Allah mengajarkan kepada hambanya melalui firmannya: “Katakanlah kepada hamba-hamba Ku, Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu rnenimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia” (QS. al-Isra’: 53).
Perilaku di media sosial hanya dipenuhi dengan komen-komen kasar bahkan entah cacian binatang dan kata-kata kotor seolah menjadi bagian dari cara kita mengekspresikan kebebasan dan pembelaan. Padahal, kita tidak menyadari itu bagian dari kesenangan setan untuk membuat perselisihan sesama manusia.
Para setan tertawa dengan hadirnya media sosial yang hanya berisi umpatan dan makian. Para setan sedang berjingkrak kagum dengan hadirnya media sosial yang isinya adalah mengumpat dan menebar kebencian. Mereka tidak harus mengerahkan pasukannya untuk datang ke semua manusia. Media sosial telah menjangkau ribuan bahkan jutaan manusia yang dihinggap permusuhan dan perselisihan akibat makian dan kata-kata kotor.
Setan pun mengatakan : lanjutkan dan yakinlah, itu bukan kata-kata kotor, bukan makian, bukan provokasi itu adalah kalimat tegas agar kebenaran tegak. Begitulah kira-kira hembusan setan untuk membuat perselisihan di media sosial.
Ada renungan sabda Rasulullah agar kita bisa melawan para setan yang bergentayangan di media sosial. Nabi bersabda : “Sebarkanlah salam (kedamaian), berbicaralah dengan baik, jalinlah persaudaraan dan shalatlah pada malam hari ketika mansuai sedang tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan damai.” (HR. Ahmad).
Kenapa kita tidak menjadikan media sosial sebagai media menyebar salam? Kenapa kita tidak menjadikan media sosial untuk berbicara kebaikan? Kenapa selalu menumpuk setan dengan menanam benih permusuhan dan perselisihan melalui kata-kata kotor, makian, dan cacian? Apakah kita merasa sangat benar dan sedang membela kebenaran dengan kata-kata buruk itu? Atau kita sedang merawat dan menyemai setan di media sosial?