sayyidina dalam shalat

Shalat Tanpa Wudhu dan Tayammum

Dalam suatu kondisi tertentu seseorang tidak menemukan air untuk berwudhu, atau debu untuk tayammum ketika akan melaksanakan shalat. Tentu hal ini menjadi problem tersendiri sebab wudhu merupakan syarat sah shalat. Seperti di ruang penjara khusus, saat berkendara dalam kondisi macet dan di tempat-tempat lain.

Bagaimana solusinya? Sementara shalat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apap pun juga. Sebab ibadah shalat yang merupakan tiang agama teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi seseorang, prakteknya tidak kaku. Seperti shalat dalam kendaraan, shalat bagi mereka yang sakit dan seterusnya berbeda tata cara dengan shalat orang normal.

Termaktub dalam Hasyiyah al Qalyubi wa Umairah (1/110), menurut qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i, dalam kondisi seseorang tidak menemukan air untuk wudhu atau debu untuk tayammum tetap diwajibkan melaksanakan shalat dalam rangka menghormati waktu shalat. Shalat seperti ini disebut “shalat li hurmatil wakti”. Namun demikian, orang tersebut wajib mengganti (qadha) shalat dikemudian hari pada saat menemukan air atau debu.

Sementara Imam Nawawi dan Al Muzanni memilih pendapat yang berbeda, menurut keduanya seseorang yang tidak menemukan air atau debu tetap melaksanakan shalat sebagaimana telah diterangkan, namun tidak memiliki kewajiban untuk mengulangi (qadha) shalat tersebut.

Kesimpulannya, semua ulama sepakat tentang kewajiban melaksanakan shalat sekalipun dalam kondisi tidak menemukan air untuk wudhu atau debu untuk tayammum. Mereka hanya beda pendapat, apakah shalat tanpa wudhu dan tayammum wajib diulangi (qadha) di lain waktu saat menemukan air atau debu? Menurut pendapat baru (qaul jadid) Imam Syafi’i wajib diulangi, sementara menurut Imam Nawawi dan Imam Muzanni tidak wajib diulang atau tidak wajib diqadha.

Beda pandangan ini memberikan kebebasan terhadap umat Islam untuk memilih salah satunya. Namun, yang lebih bijaksana adalah mengikuti pendapat Imam Syafi’i apabila shalat yang dikerjakan tanpa wudhu dan tayammum jumlahnya sedikit, sehingga tidak terlalu memberatkan.

Tetapi, apabila jumlahnya sangat banyak, misalnya sampai satu tahun, tentu lebih baik mengikuti pendapat Imam Nawawi dan Imam Muzanni.

Bagikan Artikel ini:

About Nurfati Maulida

Check Also

Imam Syafii

Benarkah Imam Syafi’i Anti Tasawuf?

Beredar di media sosial ceramah Salim Yahya Qibas yang dengan entengnya ia menyebut Imam Syafi’i …

sirah sahabat

Ketika Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit Berbeda Pendapat

Menjelang Natal dan Tahun Baru, perdebatan biasanya mengemuka sekalipun dalam ranah ijtihadi yang memang cenderung …