Allah berfirman, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin”. (QS. al Baqarah: 184).
Dari ayat ini memunculkan implikasi hukum dalam pembahasan puasa yang bersifat khilafiyah. Bolehkah tidak puasa dan diganti dengan fidyah? Apakah puasa dan fidyah merupakan pilihan?
Pendapat pertama mengatakan, pada mulanya puasa Ramadhan diwajibkan dengan dua pilihan. Saat itu umat Islam diberi kebebasan untuk memilih berpuasa atau membayar fidyah, yakni memberi makan satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa.
Pensyariatan puasa Ramadhan tidak sekaligus karena umat Islam belum terbiasa melakukannya. Di samping itu, hal ini merupakan karakteristik ajaran Islam. Penerapan sebagian besar aturannya secara bertahap. Sebagaimana turunnya al Qur’an yang juga bertahap.
Baru dikemudian hari hukum tersebut dihapus setelah turunnya firman Allah, “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. al Baqarah: 185).
Setelah turunnya ayat ini, tidak ada lagi pilihan bagi umat Islam, kecuali puasa Ramadhan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama berdasar pada hadis Bukhari Muslim.
Dari Salamah bin Akwa’, ia berkata, sewaktu turun ayat “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin”. (QS. al Baqarah: 184) di antara kami ada yang memilih berpuasa, adapula yang memilih membayar fidyah.
Setelah turunnya ayat, “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. al Baqarah: 185), tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali berpuasa”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Mu’ad, Ibnu Umar dan lainnya.
Namun, menurut pendapat kedua, sebagian ulama berpendapat, seperti riwayat Ibnu Abbas, ayat pertama tidak dinasakh (hukumnya dihapus) oleh ayat setelahnya. Konteks ayat yang pertama sebenarnya berbicara khusus untuk orang tua renta baik laki-laki maupun perempuan dan orang sakit yang sulit untuk berpuasa. Jadi sejak semula puasa Ramadhan merupakan kewajiban yang tidak bisa diganti dengan fidyah. Tidak ada dua pilihan sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Ibnu Abbas berkata, ada rukhshah (keringanan) untuk orang tua renta, yakni boleh tidak puasa Ramadhan dan tidak wajib qadha’. Hanya saja harus membayar fidyah. Yakni memberi makan satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa. (HR. Turmudzi).
Dari ‘Atha, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin”. (QS. al Baqarah: 184). Ibnu Abbas kemudian berkata, ayat ini tidak dimansukh, konteks ayat ini untuk laki-laki dan perempuan yang telah tua renta dan tidak mampu untuk berpuasa, maka mereka hanya wajib memberi makan satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa Ramadhan. (HR. Bukhari).
Dengan demikian, menurut pendapat ini, tidak ada ayat yang dihapus. Ayat pertama dan ayat kedua memiliki objek taklif masing-masing. Puasa Ramadhan sedari awal merupakan kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar serta tidak boleh menggantinya dengan fidyah kecuali sebab udzur syar’i.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah