Di banyak tempat hari ini, agama—termasuk Islam—sering direduksi hanya sebagai ritual untuk memuja Tuhan. Iman dipersempit maknanya menjadi sekadar keyakinan yang dibuktikan lewat doa, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah formal.
Iman yang sempurna tidak sesempit itu. Ada dimensi yang lebih luas dan mendalam dari makna iman yang telah rapuh dalam sikap keumatan. Umat beragama tidak mampu mengaitkan iman dengan kemerdekaan.
Ada ayat penting dalam pandangan Al-Qur’an yang membuka peta jalan kemerdekaan iman yang memerdekakan kemanusiaan. Iman sejati bukanlah iman yang mengurung manusia di ruang ibadah, tetapi iman yang memerdekakan manusia dari belenggu ketidakadilan, kemiskinan, dan penderitaan.
Al-Baqarah: 177 – Peta Jalan Iman yang Merdeka Menuju Teologi Kemerdekaan
Karl Barth seorang teolog terbesar dalam paruh pertama abad ke-20 ini telah membukakan jalan dalam tradisi Kristen tentang iman yang memerdekakan. Gagasan besar yang ia bangun bahwa Allah yang merdeka mengasihi manusia dalam diri Yesus Kristus dan memerdekakan kita dalam segala bidang kehidupan -politik, kesenian, ilmu pengetahuan dan terutama teologi dan gereja agar kita dapat hidup dalam perikemanusiaan sambil memuji dan memuliakan-Nya.
Dalam Islam, tidak sulit untuk mencari dalil dan rujukan tentang teologi kemerdekaan. Allah berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji; serta orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).
Ayat ini menjadi landasan penting bagi terwujudnya konsepsi teologi kemerdekaan menegaskan tiga lapisan kebajikan yang membentuk iman yang memerdekakan:
- Kebajikan spiritual – keyakinan kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan nabi adalah bentuk iman yang merdeka yang membebaskan dari belenggu spiritual yang menyesatkan. Iman harus merdeka dari belenggu “tuhan-tuhan” yang mengeksploitasi kemanusiaan. Karena Tuhan sejati adalah Tuhan yang memerdekakan umat manusia.
 - Kebajikan sosial – kepedulian konkret kepada yang lemah, seperti yatim, miskin, musafir, peminta-minta, dan mereka yang tertindas merupakan bentuk ekspresi keimanan yang memerdekakan. Iman adalah dasar dari terbentuknya praktek memerdekakan orang lain.
 - Kebajikan moral – menepati janji, sabar menghadapi penderitaan, dan berpegang pada kebenaran di tengah tantangan bentuk landasan nilai dan moral bagi para pemegang teguh teologi kemerdekaan. Tidak ada kemerdekaan tanpa kejujuran, penderitaan dan kesabaran dalam menggapai tujuan.
 
Ayat ini sebagai deklarasi Al-Qur’an bahwa iman sejati tidak hanya berdiam di hati atau tampak di ritual, tetapi harus berbuah pada pembebasan manusia dari segala bentuk keterhimpitan—baik ekonomi, sosial, maupun politik.
- Al-Baqarah: 177 adalah “ayat revolusioner” yang membebaskan manusia dari kesalehan semu. Iman yang hanya berkutat pada ibadah ritual tanpa melahirkan keberpihakan pada kemanusiaan adalah iman yang kering dan kehilangan ruhnya.
 
Sayangnya, realitas umat hari ini sering terjebak pada paradoks: sangat rajin ibadah ritual, tetapi abai pada penderitaan di sekitarnya. Masalah kemiskinan, pengangguran, penggusuran, atau kekerasan sosial dianggap urusan pemerintah semata, bukan bagian dari praktik iman.
Masjid sebagai Pusat Gerakan Kemerdekaan
Iman yang membebaskan kemanusiaan adalah iman yang menghapus penderitaan dan ketidakadilan. Dalam sejarah, para ulama dan tokoh pergerakan Islam menjadikan iman sebagai landasan untuk melawan penindasan, termasuk para ulama di Indonesia yang menjadi garda-garda terdepan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.
Iman yang merdeka dan memerdekaan hari ini harus menjadi praktek gerakan sosial. Ibadah sosial seperti menolong fakir miskin dan menegakkan keadilan adalah bentuk ibadah yang sama tingginya dengan shalat dan puasa, karena semua itu bertujuan menegakkan kemaslahatan manusia.
Lihatlah bagaimana masjid pada masa Nabi adalah pusat ibadah sekaligus pusat pelayanan sosial, pendidikan, dan advokasi. Kini, jurang antara masjid dan masyarakat semakin lebar. Banyak rumah ibadah ramai oleh ritual, tetapi sepi dari program nyata yang membebaskan warga sekitar dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Masjid sebagai “Rumah Tuhan” harus menjadi pusat gerakan kemerdekaan iman dan sosial. Masjid harus menjadi episentrum syiar ritual dan kemerdekaan sosial. Banyak hal yang perlu diberdayakan dari masjid yang hari ini hanya menjadi pintu shalat dan dizkir. Masjid harus memperbanyak program-program kemanusiaan yang mendorong kemerdekaan sosial masyarakat sekitarnya.
Jika ingin menghidupkan kembali iman yang merdeka dan memerdekakan kemanusiaan, umat Islam harus menjadikan QS. Al-Baqarah: 177 sebagai pedoman utama. Iman bukan hanya untuk dikenang dalam doa, tetapi untuk diwujudkan dalam aksi nyata yang mengangkat derajat sesama manusia.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah