terorisme dalam fikih
terorisme

Terorisme dalam Kajian Fikih Jinayah

Di saat narasi kontra terorisme disuarakan, kelompok teror selalu mendalihkan sebagai kegiatan islamophobia. Mereka berusaha membalikkan fakta seolah-olah melawan aksi-aksi terorisme adalah upaya marjinalisasi terhadap agama Islam. Propaganda demikian sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir sebagian umat Islam.

Untuk itu perlu dijelaskan dari sudut pandang fikih Jinayah (hukum pidana Islam) bahwa terorisme adalah aktifitas “membungkus kebatilan dengan kemasan agama”. Artinya, terorisme adalah kegiatan yang sebenarnya dilarang oleh agama.

Dalam pembahasan fikih Jinayah terorisme dapat dikategorikan dalam hirabah, yakni segala aktifitas yang bisa mengancam keselamatan harta maupun jiwa orang lain.

Allah mengingatkan; “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. (QS. Al Maidah: 33)

Menurut Sa’id bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Mujahid, Dhahhak dan sebagian ulama salaf yang lain, ayat di atas ditujukan terhadap segala aktifitas kriminalitas. Segala bentuk kejahatan kriminal masuk dalam cakupan ayat ini, termasuk riba dan lain-lain. Karena itu, imam/hakim memiliki hak untuk menghukum para pelaku tindak kriminal dan pelaku kejahatan dengan salah satu hukuman yang disebut dalam ayat di atas; dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka secara selang-seling, atau diusir keluar dari negerinya.

Sedangkan menurut Jumhur Ulama ayat di atas khitabnya (yang dituju) khusus untuk qathi’ al thariq (begal/perampok). Begal atau perampok melakukan kejahatan yang beragam; pertama, hanya menakut-nakuti, hartanya tidak diambil dan tanpa pembunuhan. Kedua, membunuh korban tapi tidak mengambil hartanya. Ketiga, hanya mengambil harta dan korban tidak dibunuh. Keempat, mengambil harta serta membunuh. Oleh karena itu, hukumannya juga bervariasi sesuai dengan tindakan kejahatan masing-masing.

Seperti termaktub dalam kitab Al Tasyri’ al Jina’i al Islamy dan al Jami’ li Ahkam al Qur’an, para ulama sepakat kejahatan yang pertama hukumannya adalah diasingkan atau diusir dari negerinya. Untuk kasus yang kedua ulama juga sepakat hukumannya berupa hukuman mati. Ulama juga sepakat sanksi untuk kasus yang ketiga dipotong tangan dan kaki secara berseling. Sementara kejahatan yang keempat hukumannya menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah dibunuh dan disalib. Menurut Ibnu Abbas, Nakha’i dan Atha’ dipotong tangan dan kakinya secara selang-seling. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah diserahkan sepenuhnya kepada imam dalam menentukan hukumannya.

Berdasarkan uraian ini, bisa dipastikan bahwa terorisme masuk dalam kategori hirabah atau membuat kerusakan di atas bumi (mufsid fi al ardhi). Terorisme jelas-jelas tindakan yang bertentangan dengan agama Islam. Sedangkan sanksi bagi terorisme memilih salah satu dua pendapat di atas.

Di samping itu, agama Islam juga memberikan legalitas untuk melakukan perlawanan terhadap segala tindakan kejahatan, termasuk terorisme.

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. (QS. Al Nahl: 126)

Dalam Nadzariyah al Dharurah dijelaskan, jelas Islam memperbolehkan melakukan aktifitas untuk melawan segala kejahatan sebagai tindakan balasan. Dengan catatan, bentuk perlawanan tersebut harus setimpal dan tidak melampaui batas. Karenanya, perlawanan terhadap kelompok teror tidak bisa disebut terorisme atau islamofobia. Setiap aktifitas perlawanan terhadap kelompok teror adalah dalam upaya mempertahankan diri dari ancaman kedzaliman.

Sebagai kesimpulan, melawan segala bentuk narasi, propaganda dan segala jenis kejahatan terorisme sebenarnya adalah kewajiban umat Islam. Dan, hal itu tidak disebut sebagai Islamofobia atau tindakan diskriminatif terhadap agama Islam. Mempertahankan diri, termasuk antisipasi dini terhadap terorisme menjadi tugas umat Islam semuanya.

Selain itu, negara juga ikut bertanggung jawab untuk menindak sekaligus menghukum pelaku terorisme. Tindakan tegas negara serta upaya perlawanan umat Islam terhadap segala bentuk terorisme merupakan perintah agama, bukan Islamofobia atau anti Islam.

Bagikan Artikel ini:

About Nurfati Maulida

Check Also

darah haid

Darah Haid Tuntas Tapi Belum Mandi Besar, Bolehkah Berpuasa?

Perempuan haid dilarang berpuasa. Tapi, larangan ini tidak bermakna diskriminasi Islam terhadap perempuan. Puasa ramadhan …

buah takwa

Bentuk Bahagia Menyambut Ramadan

Dalam kitab Durrotun Nashihin, ada yang yang berbunyi: “Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, …