fikih toleransi
fikih toleransi

Fikih Toleransi (1) : Konsep Toleransi dalam Fikih

Fikih toleransi adalah istilah yang dipakai untuk menegaskan praktik tasamuh (toleransi) dalam fikih yang terkandung dalam prinsip-prinsip universal ajaran Islam. Toleransi merupakan perwujudan nyata dalam bentuk pemikiran dan tindakan dari konsep moderasi dan toleransi dalam Islam (Wasathiyatul Islam wa Samahatuhu).

Supaya pemahaman tentang hal ini lebih syamil, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu definisi apa itu fikih.

Definisi Fikih

Abu Ishak al Syirazi dalam karyanya Al Luma’ fi Ushulil Fiqh menjelaskan bahwa fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat dengan metode ijtihad. Senada dengan Abu Ishak, Jalaluddin al Mahalli dalam kitabnya Syarhul Waraqat mendefinisikan fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat dengan cara berijtihad.

Dua definisi ini memberikan kesimpulan bahwa fikih adalah produk hukum yang digali (istinbat) dari dalil-dalil partikular al-Qur’an dan hadist. Konsekuensi istinbat hukum dengan cara ijtihad ini adalah timbulnya perbedaan rumusan hukum antara seorang mujtahid dengan mujtahid yang lain.

Namun, perlu diingat, tidak semua orang bisa disebut mujtahid dan tidak sembarangan orang berijtihad dan mengeluarkan hukum. Ada perangkat keilmuan khusus yang harus dimiliki. Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Hanifah adalah deretan contoh tokoh alim ulama yang memiliki kapasitas tak diragukan sebagai mujtajid.

Karena fikih adalah produk ijtihad, seperti telah dijelaskan, maka perbedaan pendapat kerap dijumpai, meskipun dalil yang dipakai sama. Namun sebenarnya, adanya perbedaan tersebut justru menampilkan nuansa toleransi dalam fikih itu sendiri. Contoh sederhana; perbedaan pendapat tentang hukum muslim mengucapkan selamat hari natal, ada pendapat yang mengharamkan dan pendapat lain membolehkan. Dan, terlalu banyak contoh perbedaan pendapat yang terjadi dalam ruang diskusi fikih antar ulama madzhab.

Watak Fikih Mengajarkan Toleransi

Di sinilah maksud adagium “Perbedaan adalah rahmat”. Karena dengan perbedaan tersebut seseorang bisa memilih satu pendapat yang nuansa maslahatnya lebih besar baik untuk dirinya maupun untuk orang lain sesuai situasi dan kondisi yang mengitarinya. Karena itu, sebagai misal, dalam madzhab Imam Syafi’i dikenal dua istilah; qaul qadim (pendapat pertama) dan qaul jadid (pendapat baru). Dua istilah ini muncul karena tempat dan situasi yang berbeda. Padahal dalilnya sama.

Adanya perbedaan pendapat ini dengan sendirinya menjadi praktik toleransi di kalangan internal umat Islam. Bahkan, para imam madhab sendiri telah mencontohkan praktik toleransi tersebut. Sebutlah misalnya Imam Abu Hanifah yang berkata, pendapat saya hanya sekadar pendapat hasil pemikiranku yang maksimal, jika ada pendapat lain yang lebih unggul patut untuk diambil dan dipedomani”.

Dari sini bisa dikatakan bahwa sejatinya watak fikih itu menanamkan toleransi. Mujtahid sejati pasti memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Hal ini sebagaimana dibuktikan bahwa para imam madhab sangat mengedepankan toleransi. Bagi mereka tidak ada istilah penunggalan kebenaran meskipun masing-masing meyakini pendapatnya paling unggul. Sebab, bisa jadi pendapat madhab lain lebih benar dalam kenyataannya. Teladan mereka mengajarkan praktik toleransi terhadap pengikut madhabnya supaya tidak ngotot, apalagi sampai menyalahkan dan melecehkan pendapat madhab lain.

Padahal, dalam tataran pengetahuan semua pendapat madzhab tersebut benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Sikap rendah diri dan tidak ada klaim kebenaran mutlak terhadap pendapat mereka sejatinya hanya pengakuan terhadap perbedaan yang disikapi dengan bijaksana.

Imam Jalaluddin al Sayuthi berkata, “Semua pendapat madhab itu benar, perbedaan pendapat tersebut bukan soal salah dan benar, tapi lebih pada pendapat mana yang lebih utama”.

Imam Sya’roni dalam muqaddimah kitabnya Mizanul Kubra menulis, syariat itu ibarat pohon besar yang kokoh dan rindang, pendapat para ulama seperti dahan dan batangnya. Tidak mungkin ada dahan tanpa batang, sebagaimana tidak mungkin ada bangunan tanpa tembok.

Alhasil, fikih menjadi ruang yang penuh dengan perbedaan. Perbedaan tersebut bukan untuk diadu dan dibenturkan, melainkan sebagai kekayaan syariat. Perbedaan yang ada merupakan praktik toleransi. Karena itu, fikih toleransi senyatanya telah ada sejak dulu, sejak masa para imam madzhab, bahkan sejak Nabi. Banyak contoh dua pendapat yang berbeda diamini oleh Nabi sebagai pendapat yang sama-sama benar.

Karena itulah, mencari toleransi dalam fikih terhampar luas. Bukan hanya produk hukum yang bernuansakan toleran, tetapi pada prakteknya, toleransi dalam fikih dipraktekkan sejak produk hukum itu dimunculkan dan dipraktekkan. Level mujtahid tidak mungkin tidak memiliki toleransi.  Dan fikih toleransi merupakan perwujudan dari nilai, perilaku dan produk hukum yang memiliki pandangan yang inklusif dna toleran terhadap perbedaan.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …