Kasus Samsudin Jadab. Inilah fenomena perdukunan bertopeng agama. Agama dieksploitasi demi kepentingan “menipu kewarasan” berpikir dan kewarasan beragama.
Praktik perdukunan yang menodai kesucian agama sedang diminati di negeri ini. Herannya, masih banyak orang-orang yang dengan mudah dikelabui tipu daya para dukun tersebut.
Padahal sejak dulu Nabi mengingatkan,”Siapa saja yang datang kepada “Kahin” atau “‘Arraf”, kemudian membenarkan apa yang mereka katakan, sungguh ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada kepada Nabi Muhammad”. (HR. Ahmad)
Dalam riwayat Imam Muslim, kelanjutan hadits tersebut, “shalatnya tidak diterima selama 40 hari”.
Dalam ‘Umdat al Qari, Fathu al Bari dan Hamisyi al Muslim, Kahin adalah mereka yang mengaku mengetahui apa yang akan terjadi dengan berpatokan pada tanda-tanda tertentu. Adapun ‘arraf adalah orang-orang yang mengaku tahu terhadap sesuatu yang ghaib melalui amalan dan mantra.
Jelas sekali Nabi melarang percaya kepada kahin dan ‘arraf. Apa makna larangan itu; haram atau makruh?
Kalau kadar percaya terhadap mereka sampai menggerogoti iman, bahkan sampai syirik, hukumnya haram. Namun kalau kepercayaan tersebut tidak sampai menafikan kekuasaan Allah, hukumnya boleh.
Tentang pelaku perdukunan; dukun, peramal, paranormal dan sejenisnya, pada dasarnya adalah boleh. Tetapi, kalau mereka meminta bantuan setan dan menimbulkan mudharat pada orang lain hukumnya haram.
Salah satu bentuk mudharat disini seperti menipu orang lain dengan mantra shalawat, dzikir, ayat dan bacaan-bacaan lainnya. Ya, mirip-mirip praktik Samsudin Jadab itu.
Karenanya, di zaman yang serba modern seperti sekarang, mari hidup dan beragama secara waras. Tinggalkan “kegiatan perdukunan”, apalagi membawa-bawa nama agama. Daya kritis dan objektivitas harus dikedepankan dan meminggirkan mengkultuskan dukun dan sejenisnya merupakan keharusan.