tradisi masyarakat nusantara menyambut ramadan

Tradisi Masyarakat Nusantara Menyambut Ramadan : Perspektif Antropologi dan Fikih Urf

 Tradisi masyarakat nusantara menyambut bulan Ramadan sangat unik. Bagaimana tradisi tersebut dalam tinjauan antropologi dan fikih urf?

Islam sebagaimana agama lain selalu berdialektika dengan tradisi dan kebiasaan lokal. Ruang lokalitas tidak bisa diabaikan dalam penyebaran agama. Selalu terjadi perkawinan yang unik antara ajaran agama dengan tradisi yang memungkinkan perbedaan tradisi keagamaan antar suatu wilayah dengan lainnya.

Perjumpaan Islam dan tradisi lokal telah mewujudkan suatu akulturasi nilai Islam dalam bingkai budaya lokal. Hasilnya, banyak sekali praktek tradisi yang unik yang diproduksi dari hasil perjumpaan antara ajaran Islam dan kebiasaan lokal. Praktek ini menjadi negosiasi nilai yang dinamis yang tidak saling mengalahkan.

Salah satu contoh dari perjumpaan tersebut adalah tradisi masyarakat nusantara menyambut Ramadan. Ada beberapa tradisi masyarakat nusantara dalam menyambut Ramadan yang mungkin tidak ditemukan di berbagai masyarakat muslim lainnya.

Namun, penting dicatat bahwa tradisi ini bukan sebuah ajaran baru, tetapi lebih pada kreasi lokal dalam memaknai ajaran. Tidak tepat jika tradisi tersebut dianggap sebagai membuat hal baru dalam agama yang seringkali dihukumi bid’ah. Tradisi yang ada, pada dasarnya, ingin melanggengkan nilai Islam melalui praktek tradisi.

Antropologi Tradisi Masyarakat Nusantara

Agama dalam masyarakat nusantara tidak hanya dihadirkan dalam bentuk normatif-literal sebagaimana bunyi teks suci, tetapi dipraktekkan dalam bentuk ekspresi lokal. Keterlibatan pemaknaan lokal dengan menggabungkan ajaran Islam dengan tradisi menciptakan produk budaya yang saling mempengaruhi. Ada proses islamisasi tradisi, tetapi ada pula proses pribumisasi Islam.

Tradisi Nyadran

Tradisi nyadran dilakukan dengan cara membersihkan makam leluhur, berziarah, menggelar kenduri dengan makanan tradisional seperti apem. Pemilihan apem dimaknai secara simbolik sebagai bentuk permohonan ampun. Tradisi merupakan perjumpaan unik antara kebiasaan lokal dengan ajaran Islam. Dilaksanakan di bulan Sya’ban menjelang puasa atau ruwah (kalender Jawa) menghasilkan nilai kebaikan yang tidak bertentangan dengan nilai Islam.

Ada nilai sosial budaya seperti kebersamaan, gotong royong, kegembiraan sosial, dan solidaritas yang tercipta menyambut bulan suci Ramadan. Praktek ini semakin mempererat silaturahmi antara masyarakat, menjalin kerukunan dan perdamaian yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, tradisi menguatkan nilai-nilai keislaman. Sementara ajaran Islam melalui ibadah Ramadan menjadi inspirasi dari lahirnya kreasi budaya yang direproduksi dari kebiasaan lama masyarakat.

Tradisi Padusan

Tradisi padusan dilaksanakan dengan mandi besar (ghusl dalam istilah Islam) di sumber air alami sebagai simbol penyucian diri. Tradisi ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh akar budaya Jawa Kuno dengan nuansa Hindu-Budha yang diislamisasi sebagai pembersihan jasmani dan rohani.

Konteks Islamisasi dalam praktek ini adalah insprasi ajaran Islam tentang bulan Ramadan yang suci. Memasuki bulan yang suci ini masyarakat harus berada dalam keadaan suci baik jasmani dan rohani. Karena praktek dilaksanakan secara kolektif, nilai sosial dan kebersamaan dalam tradisi ini cukup kuat dalam mendorong kohesi sosial.

Tradisi Munggahan

Tidak hanya di Jawa, di tengah masyarakat Sunda ada pula tradisi menyambut bulan suci ramadan dengan hampir serupa dengan nyadran. Tradisi Munggahan yang berarti naik (unggah) menapaki bulan suci dilaksanakan dengan tradisi makan bersama keluarga sebelum memasuki bulan Ramadan.

Selain makan bersama, saling mendoakan, dan saling bermaafan, munggahan juga dalam berbagai praktek dilaksanakan dengan mengunjungi makam orang tua, orang saleh dan menggelar sedekah munggah. Tujuan dari tradisi ini memiliki makna yang sama untuk membersihkan jiwa dan bersiap menyambut bulan suci Ramadan.

Tradisi Meugang

Tradisi unik lainnya datang dari serambi Makkah, Aceh. Tradisi Meugang adalah tradisi memasak daging dalam jumlah besar dan menikmati bersama keluarga dan yatim piatu dalam menyambut bulan-bulan besar seperti Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini diawali dengan menyembelih sapi, kerbau atau kambing. Konon, tradisi ini sudah ada sejak era Kesultanan Aceh yang dibagikan kepada masyarakat kurang mampu.

Ada ajaran syukur, sedekah, dan kebersamaan yang terkandung dalam tradisi ini. Kemeriahan dan kegembiraan yang dinikmati bersama terutama kepada masyarakat yang tidak mampu adalah bentuk empati dan simpati yang sangat luar biasa.

Tradisi Masyarakat Urban

Tentu masih banyak tradisi lain di beberapa daerah dalam menyambut Ramadan sebagaimana masyarakat Minangkabau menggelar tradisi Balimau seperti praktek Padusan di Jawa. Masayarkat urban perkotaan tidak kalah menarik dengan menafsirkan kegembiraan dan persiapan Ramadan dengan tradisi unik. Salah satu contoh tentu saja adalah kirab, karnaval, dan tarhib Ramadan yang biasanya dilakukan anak-anak sekolah menyambut bulan Ramadan.

Pawai menyambut Ramadan masyarakat urban ini sebenarnya menyerap tradisi lama sebagaimana misalnya tradisi dugderan di Semarang. Tradisi dugderan dilakukan dalam bentuk pawai menyambut Ramadan. Kata “dug” berasal dari bedug dan “der” berasal dari suara meriam yang menandai masuknya Ramadan.

Fikih Urf  : Meninjau Tradisi Menyambut Ramadan

Islam mengabarkan tentang datangnya bulan Ramadan sebagai bulan berkah dengan penuh keistimewaan. Dalam prakteknya, ajaran Islam berkembang di nusantara dalam bentuk yang khas. Islam bernegosiasi dengan tradisi yang dalam istilah Islam disebut dengan urf (kebiasaan). Karena itulah, Islam tidak bersifat agresif terhadap tradisi senyampang tidak bertentangan dengan syariat. Islam memperlakukan tradisi sebagai media bahkan sarana menetapkan hukum.

Fikih urf  hadir dalam menjawab bagaimana tradisi, kebiasaan lokal (urf) dapat diintegrasikan dengan nilai syariat. Fikih berangkat dari pemahaman bahwa tradisi yang tidak bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam dapat diakomodasi dalam penerapan hukum.

Misalnya, Rasulullah dalam Riwayat Ahmad bersabda : apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu baik di sisi Allah. Hadist ini menjadi dasar legitimasi tradisi yang baik yang dapat diakomodir dalam Islam. Karena itulah, dalam penetapan hukum, salah satu Imam Madzhab, Imam Malik, menjadikan kebiasaan orang Madinah sebagai salah satu sumber penetapan hukum.

Dalam kaidah fikih kemudian dikenal “Al Adah Muhakkamah”, artinya kebiasaan dapat dijadikan alasan hukum. Al ma’ruf urfan, kal masyrut syartan, artinya apa yang dikenal baik secara adat, seperti sesuatu yang diisyarakan secara syariat. Artinya, tradisi memiliki kekuatan seperti syarat dalam hukum Islam.

Tentu saja, urf atau kebiasaan itu harus memenuhi standar. Beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi tradisi untuk menjadi dasar penerapan hukum adalah tidak bertentangan dengan syariat dalam arti tidak mengandung unsur syirik, bid’ah dan kemaksiatan. Syarat selanjutnya adalah bersifat umum dan diakui masyarakat bukan personal dan kelompok. Artinya, tradisi baik ini telah diamani sebagai kebiasaan baik yang diterima secara turun temurun.

Syarat berikutnya adalah mendatang kemashlahatan dan tidak mengandung unsur kemaksiatan. Tradisi yang mendatang kemashlahatan seperti manfaat ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat dapat dipelihara karena sesuai dengan tujuan Islam. Tentu tidak ada unsur kemaksiatan yang harus menjadi syarat berikutnya.

Dengan melihat pandangan fikih tersebut, tradisi menyambut Ramadan adalah sebuah kegembiraan, bentuk syukur dan upaya kesiapan menyambut bulan Ramadan selama tidak bertentangan dengan syariat. Rasulullah selalu mengabarkan kabar gembira dalam menyambut bulan Ramadan dan ucapan syukur bertemu dengan bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadan.

Ramadan adalah bulan suci yang dimaknai oleh masyarakat lokal dengan penuh khidmat dalam bentuk tradisi yang beragam. Ziarah sebagai bentuk mengingat mati dan mendoakan leluhurnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Makan bersama dan mensyukuri nikmat dalam bentuk kenduri, slametan, munggahan dan meugang menjadi tradisi perekat sosial yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Pendekatan hukum Islam atau fikih memang harus fleksibel dalam mengakomodasi tradisi lokal dengan tanpa melanggar prinsip syariat. Islam sejak datang tidak pernah menghapus tradisi Makkah, tetapi melakukan pembersihan terhadap unsur yang menyimpang dengan menginternalisasi nilai baru. Apa yang terjadi di masyarakat nusantara bukan ruang hampa, tetapi Islam yang menyapa tradisi dengan proses negosiasi, interaksi dan internalisasi.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

039552600 1760429711 830 556

Kemenhaj Minta Perkuat Istithaah Kesehatan, Cegah Jamaah Wafat di Pesawat

JAKARTA — Menteri Haji dan Umrah Republik Indonesia, Mochamad Irfan Yusuf terus bergerak dalam upaya mempersiapkan …

084039400 1760199435 830 556

Pesan Habib Ja’far: Manfaatkan AI Sebagai Tools, Bukan Rujukan Utama Soal Persoalan Agama

JAKARTA — Perkembangan zaman tidak bisa dinapikan oleh masyarakat, termasuk perkembangan teknologi yang mempermudah keperluan, …