Di mana ada pertemuan, di situ pasti ada perpisahan. Ungkapan ini pantas untuk mewakili saat-saat jamaah haji akan meninggalkan kota makkah karena telah selesai menunaikan ibadah haji. Kembali ke tanah air masing-masing. Tetapi, sebelum beranjak pergi, ada satu lagi ibadah yang harus dikerjakan. Sebagai ritual terakhir lepas pisah dengan Baitullah, yaitu tawaf Wada’.
Tawaf Wada’ adalah tawaf yang dikerjakan setelah semua rangkaian ibadah haji telah selesai. Karena itu, tawaf ini kemudian diberi nama ‘wada’ atau perpisahan. Ulama sepakat tentang pensyaritan tawaf ini. Akan tetapi, untuk perempuan yang sedang mengalami haid pensyari’atan itu gugur.
Menurut Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan Hasan al Bashri, taaf wada’ hukumnya wajib bagi orang yang melaksanakan ibadah haji. Karena itu, apabila tidak dikerjakan wajib membayar dam atau denda. Sementara untuk orang yang lagi haid dan nifas kewajiban menjadi gugur. Inilah pendapat mayoritas ulama sebagaimana pendapat Imam Nawawi. (al majmu’ VIII; 271)
Hal ini membuktikan bahwa tawaf wada’ adalah bagian penting dari rangkaian ibadah haji. Oleh karena itu, harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh supaya ibadah haji yang dilakukan benar-benar sempurna. Sebagaimana sabda Nabi:
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرُعَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إلّاأَنَّهُ خُفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ (رواه البخاري ومسلم)
“Orang-orang diperintahkan untuk menjadikan tawaf di Ka’bah sebagai amalan terahir mereka, tetapi ada keringanan bagi wanita haid”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar berkata; hadis ini berisi dalil tentang kewajiban tawaf Wada’, karena indikasi perintah dan keringanan bagi wanita haid. (Fathu al Baari, III; 747)
Pendapat ini juga dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُوْنَ فِي كُلِّ وَجْهٍ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَايَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّي يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ (رواه مسلم)
Artinya: “Orang-orang dari setiap penjuru meninggalkan (kota Makkah), lalu Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah seorang pergi meninggalkan (Makkah) hingga akhir amalannya adalah tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim).
Sementara menurut Imam Malik, tawaf wada’ ini hukumnya sunnah. Konsekuensi dari hukum sunnah ini adalah tidak ada kewajiban apapun bagi mereka yang tidak mengerjaknnya. (Hasyiyah al Dasuqi, II; 53)
Pendapat ini juga didasarkan pada hadist di atas, dengan analisa pada perempuan haid. Andaikata tawaf wada’ hukumnya wajib, maka wanita haid walaupun mendapat dispensasi untuk melakukannya, ia tetap harus membayar denda.
Perpisahan yang mengharukan
Perpisahan ini terasa berat, setelah sekian hari kerinduan pada ‘Baitullah’ terobati, kini perpisahan harus terjadi. Jamaah haji sebentar lagi akan pulang ke tanah airnya masing-masing. Setelah kewajiban-kewajiban dalam ibadah haji telah tunai dikerjakan. Para tamu Allah ini akan berpamit pulang. Selayaknya seorang tamu yang berpamitan kepada tuan rumah untuk kembali ke rumahnya masing-masing.
Tetapi perpisahan tetaplah harus terjadi. Sebagai tamu Allah para jamaah harus pamit undur diri kepada Baitullah, karena ibadah haji merupakan bentuk penghormatan dan bukti kecintaan manusia kepadanya. Perpisahan dengan Baitul Haram, ‘Tawaf Wada’, yakni tawaf sebanyak tujuh kali mengelilingi Ka’bah setelah semua rangkaian ibadah telah selesai. Tawaf perpisahan.
Tawaf Wada’ ini memiliki arti bukan hanya tubuh yang berputar mengelilingi ka’bah, hati juga memainkan peran yang tak kalah urgennya. Tawaf hati. Hati berputar mengelilingi Ka’bah sebagai perwujudan adanya tali kasih dan kecintaannya pada Rumah pencipta ini. Pada saat-saat seperti ini hendaklah dirasakan dan diresapi bahwa kita sedang berada di hadapan Allah. Suatu ikatan batin yang kuat antara hamba dan Rabb nya.
Bagi mereka yang melakukan ibadah haji dengan sesungguhnya, tentu ini merupakan sesuatu yang sangat menghimpit hati. Bagaimana tidak? Memenuhi panggilan Ilahi ini merupakan nikmat yang luar biasa. Tidak semua orang bisa merasakannya. Menjadi tamu Allah, di rumahNya. Getar-getar hati enggan melepas pisah tentu akan menjalar disanubarinya. Pasti, titik air mata haru menetes karena ‘Baitullah’ akan ditinggalkan.
Doa akan dilantunkan, semoga kita berjumpa kembali. Dan proses ibadah haji dicatat sebagai haji mabrur, ibadah yang kelak dihari kiamat akan mempertemukan seorang hamba dan Tuhannya lebih mesra lagi. Raga boleh berpisah. Tapi ikatan batin cinta tetap mempertemukan dua kekasih setiap saat. Kekasih tersebut akan membimbing untuk senantiasa menjaganya kearah yang lebih baik.
Selamat tinggal ‘Baitullah’,