Beberapa pekan terakhir ini, Pondok Pesantren Az Zaytun Indramayu sempat menggemparkan tanah air karena praktek-praktek ibadah yang tidak biasa dilakukan oleh pondok-pondok pesantren pada biasanya. Bukan hanya pada tatanan praktek ibadah, bahkan banyak fatwa-fatwa yang dilontarkan pengasuh Pondok Pesantren Az Zaytun yang menuai kontraversi. Salah satunya adalah memperbolehkan wanita menjadi khatib shalat Jum’at.
Bagaimana sebenarnya menurut Fiqh tentang wanita menjadi khatib shalat Jum’at ?
Sebelum lebih lanjut kepada hukum wanita sah apa tidak menjadi khatib shalat Jum’at, maka perlu diketahui fardhu-fardhu yang harus dilakukan dalam melaksanakan shalat Jum’at. Sebab shalat Jum’at tidak seperti shalat fardhu pada biasanya. Ada ketentuan-ketentuan khusus yang harus terpenuhi yang tidak terdapat dalam shalat lainnya.
Adapun fardhu-fardhu tersebut yaitu:
- Harus dilakukan secara berjama’ah
- Jama’ah yang melakukan shalat Jum’at harus mencapai empat puluh orang yang terkena kewajiban melakukan shalat Jum’at, yaitu laki-laki mukallaf yang bertempat tinggal, bukan musafir atau orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Sebab itu, jika empat puluh orang tersebut terdapat wanita atau anak kecil, maka hukum shalat Jum’at tidak sah, harus diganti dengan shalat dzuhur.
- Melakukan dua kali khutbah dan duduk untuk memisah antara dua khutbah tersebut.
Jika salah satu dari ketiga fardhu tersebut tidak terpenuhi, maka shalat Jum’atnya tidak sah.
Terkait dengan khutbah Jum’at, orang yang bisa menjadi khatib harus laki-laki dan sah menjadi imam. Al Jamal berkata:
وَيُشْتَرَطُ كَوْنُ الْخَطِيبِ ذَكَرًا وَكَوْنُهُ تَصِحُّ إمَامَتُهُ لِلْقَوْمِ
Artinya: “Disyaratkan adanya khatib ialah laki-laki dan sah menjadi imam bagi suatu kaum”
Syarat khatib harus laki-laki bukan hanya pada khatib Jum’at, tetapi seluruh khatib, baik shalat Jum’at, shalat hari raya atau istisqa’ dan lainnya.
“ketidak sah-an wanita sebagai khatib Jum’at merupakan ijma’ fi’li umat Islam. Karena dari masa ke masa tidak pernah ada wanita yang menjadi khatib”
Dari keterangan ini, maka jelas bahwa khutbah yang dilakukan oleh wanita hukumnya tidak sah.
Bahkan menurut Syaikh Yusuf al Qardawi, ketidak sah-an wanita sebagai khatib Jum’at merupakan ijma’ fi’li umat Islam. Karena dari masa ke masa tidak pernah ada wanita yang menjadi khatib. Di dalam kitab al Bayan Lima Yusyghalul Adzhan ia menjelaskan:
أَمَّا عَنِ الْوَاقِعُ فَقَدْ رَأَيْنَا الْمُسْلِمِيْنَ شَرَقًا وَغَرَبًا سَلَفًا وَخَلَفًا قَدْ أَجْمَعُوْا فِعْلِيًّا عَلَى عَدَمَ تَوَلِّي اْلمَرْأَةِ لِلْأَذَانِ وَلَا تَوَلِّيْهَا لِإِمَامَةِ الْجُمُعَةِ. فَلَمْ يُعْرَفْ فِي تَارِيْخِ الْمُسْلِمِيْنَ خِلَالَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ قَرْنًا أَنَّ امْرَأَةً خَطَبَتِ الْجُمْعَةَ وَأَمَّتِ الرِّجَالَ حَتَّى فِي بَعْضِ الْعُصُوْرِ اَلَّتِيْ حَكَمَتْهُمُ امْرَأَةٌ مِثْلُ شَجَرَةُ الدُّرِ فِي مِصْرِ الْمَمْلُوْكِيَّةِ، لَمْ تَكُنْ تَخْطُبُ الْجُمُعَةَ أَوْ تَؤُمُّ الرِّجَالَ
Artinya: “Faktanya, sungguh aku melihat orang-orang Islam di bagian timur dan barat, masa Salaf dan Khalaf mereka bersepakat secara fi’li (perbuatan) atas tidak mengurusinya wanita terhadap adzan dan tidak mengurusinya mereka menjadi imam Jum’at. Tidak dikenal dalam sejarah Islam, selama empat belas abad ini, bahwa wanita menjadi khutbah Jum’at dan menjadi imam bagi laki-laki. Bahkan dalam sebagian masa yang dipimpin oleh wanita seperti Syajaratud Dur di Mesil Mamlukah, ia tida berkhutbah Jum’at dan tidak menjadi imam bagi laki-laki”
Sampai di sini, tidak ada satu dalil pun yang mendukung wanita bisa menjadi khatib shalat Jum’at. Namun tentang ketidak sahan wanita menjadi khatib merupakan Ijma’ Fi’ly umat Islam dari masa ke masa.
Jika khutbah shalat Jum’at sudah tidak sah, tentu hal ini sangat berpengaruh kepada ke sahan shalat Jum’atnya. Sebab khutbah Jum’at merupakan salah satu satu hal (fardhu) yang harus dipenuhi dalam mendirikan shalat Jum’at.