Saat ini, era demokrasi, berkonsekuensi terhadap kebebasan berbicara. Tetapi kebebasan tersebut terkandang dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk membuat narasi-narasi yang kalau dikaji dari sudut pandang ajaran Islam sangat kebablasan dan melenceng dari garis batas hukum Islam.
Ungkapan yang menyakitkan, menghina, caci maki dan kata-kata tak beretika, khususnya di media-media sosial bukan hal tabu dan rahasia. Lebih-lebih narasi kebencian terhadap penguasa yang dilontarkan dengan kata yang kasar penuh penghinaan.
Tulisan ini tidak berpretensi menghakimi benar atau salah terhadap mereka yang sering melontarkan kata-kata kasar dan keji terhadap seorang penguasa, namun lebih untuk menarik garis batas sejauhmana seseorang diperbolehkan melontarkan kata-kata kasar terhadap pemimpin. Adakah contohnya dari Nabi, atau penegasan ulama tentang hal ini?.
Rasulullah bersabda, “Agama itu nasihat”. Kamipun bertanya kepada beliau, “Hak siapa (nasihat itu)”? Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim).
Memaknai hadis ini Syekh Abdurrahman bin Nashir al Barak dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah menjelaskan, bentuk nasihat rakyat kepada penguasa, bila dinilai penguasa yang ada telah melakukan kedzaliman, kewajiban rakyat adalah mendoakannya dengan kebaikan, seperti “Ya Allah, perbaikilah penguasa, perbaikilah tangan kanan mereka, tunjukkan kepada mereka jalan yang lurus”.
Dalam Syarh al Sunnah, al Barbahari berkata, “Apabila engkau melihat seorang laki-laki mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa ia seorang pengikut hawa nafsu. Dan apabila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan kepada penguasa, ketahuilah dia pengikut Sunnah”.
Fudhail bin Iyadh pernah mengikrarkan diri andaikata memiliki satu doa mustajab akan dihadiahkan kepada penguasa supaya menjadi baik, atau lebih baik.
Imam Abu Ja’far al Thahawai al Hanafi dalam al ‘Aqidah al Thahawiyah menulis, “Kami tidak mendoakan kejelekan pada mereka (pemimpin). Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka, dan kami memandang ketaatan kami kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban selama yang mereka perintahkan bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.
Al Imam Habib Abdullah bin Alwy al Haddad dalam karyanya al Da’wah al Tammah menjelaskan sikap rakyat kepada pemimpin. Pemimpin yang orientasi kebijakannya untuk kemaslahatan rakyat serta memiliki kinerja yang bagus, rakyat harus membantunya dengan berdoa untuknya dan mengapresiasi kinerjanya.
Namun jika kebijakannya menyebabkan kerusakan, mencampur baur kebenaran dengan kebatilan, maka kewajiban rakyat adalah mendoakannya semoga Allah segera memperbaiki keadaan pemimpin tersebut. Memberinya petunjuk ke jalan yang benar, dan istiqamah terhadap hal-hal yang diridhai Allah dalam tugasnya sebagai pemimpin.
Rakyat tidak boleh sibuk dengan mencela dan berdoa buruk kepada dirinya. Sebab hanya akan menambah kerusakan dan kedzaliman, dan rakyat pada umumnya yang akan merasakan dampak buruknya. Jika pun ada kesalahan lalu katakanlah dengan benar dan tidak disertai dengan mengumbar kebencian apalagi caci maki.
Jihad di depan penguasa yang dzalim adalah bagian dari bentuk Jihad. Namun, betapa dzalimnya seorang Firaun, tetapi Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan untuk memberikan peringatan kepadanya dengan menggunakan kata-kata yang baik oleh Allah. “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Taha: 43-44).
Jangan atas nama jihad kemudian bisa menghalalkan caci maki dan kebencian. Berjihad di depan penguasa adalah dengan menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah