Saya selalu senang membaca tulisan-tulisan Ulama dan Cendekiawan yang mengedukasi. Di antaranya adalah tulisan Buya Husein Muhammad dan Kyai Ahmad Mustofa Bisri. Keduanya adalah sosok agamawan yang sangat alim. Sanad dan kualitas keilmuannya tidak diragukan lagi. Namun, kendati ilmunya sudah tinggi, beliau masih tetap rendah hati. Melalui beliau, saya benar-benar memetik hikmah laksana analogi padi, “semakin merunduk, semakin berisi”.
Buya Husein, begitu orang-orang menyapanya. Saya belum pernah berjumpa secara langsung. Hanya pernah mendengar beliau membacakan sajaknya yang sangat indah untuk Gus Dur pada Haul ke-10 Gus Dur di Ciganjur, 2019 lalu.
Saya mengenal Buya dari tulisannya. Tentang penghargaannya terhadap kaum perempuan. Dari tulisan-tulisannya, saya yakin Buya Husein selain intelektualitas keislamannya tidak bisa diragukan lagi, beliau adalah sosok yang ramah tamah dan toleran.
Begitu pula dengan Kyai Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Saya belum pernah sowan langsung, hanya beberapa kali mengikuti pengajian beliau. Sebagaimana Buya Husein, Gus Mus juga memiliki intelektualitas keagamaan yang tinggi, yang dibalut dengan kepribadian ramah tamah tutur kata yang lembut, sikap mengayomi dan tentu saja, humoris.
Saya belum pernah mendengar beliau berdua marah, berkata semena-mena kepada mereka yang berbeda, atau bahkan ikut-ikutan memfitah dan memprovokasi sebagaimana dilakukan oleh oknum-oknum brutal belakangan ini. Itulah salah satu yang menjadi alasan kekaguman saya kepada keduanya.
Beliau berdua adalah tokoh panutan saya dari semasa keluar dari Pondok Pesantren dan mulai mengenal dunia luar yang makin antah berantah ini. Tulisan-tulisannya mengenalkan saya pada model Islam yang moderat, toleran, pro terhadap keadilan gender dan Rahmatan lil Alamin.
Islam yang Saya Kenal
Sebagai seorang perempuan yang dibesarkan di tengah kehidupan masyarakat tradisionalis di desa, membuat saya mengenal Islam melalui jalur tradisional. Salah satu yang sejak kecil saya gandrungi adalah seni pertunjukan tradisional bernama “Kubro Siswo”, dimana sekelompok orang didandani bak kesenian “Jathilan” dan menari-nari sambil membawa sebuah kayu berbentuk tameng.
Kubro siswo adalah tarian asli Indonesia yang menceritakan tentang sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa. Biasanya kesenian ini dikontestasikan pada saat akan memperingati hari-hari istimewa seperti HUT RI. Atau menjadi hiburan saat ada hajatan seperti pernikahan, aqiqahan, sunatan atau yang lain. Sayangnya di desa saya kesenian ini sekarang tidak lagi semeriah dulu, bahkan bisa dikatakan sudah hampir lenyap sebab para pemainnya lebih tertarik dengan dunia gawai dan beberapa yang lain memiliki kesibukan lain.
Melalui kesenian kubro siswo, saya melihat secara langsung dimana Islam menyatu dengan tradisi. Dalam setiap lagu yang dinyanyikan, mengandung unsur dakwah Islam seperti salah satu lagu yang masih terkenang adalah “Agomo Kito,” dimana dalam lagu itu, disebutkan bahwa Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan memiliki 4 landasan hukum yakin Al-Qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas.
Islam yang saya kenal saat masih belia, adalah islam yang damai dan toleran. Siapapun bisa berteman tanpa pandang gender, usia, latar belakang ekonomi, pendidikan bahkan juga agama.
Kebudayaan menjadi salah satu aspek yang mempersatukan kami, kontestasi antar satu kesenian dengan kesenian lain membuat kami belajar memaknai solidaritas. Begitu pula negara ini. Kita perlu kesadaran untuk kembali memaknai solidaritas sebagai persatuan keseluruhan, bukan hanya kelompok per kelompok, partai per partai atau bahkan agama per agama saja. Sebagaimana telah termaktub dalam sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia”.
Islam yang saya kenal adalah Islam yang mengayomi, bukan menakuti. Islam yang merangkul, bukan memukul. Islam yang bersahabat dengan semuanya tanpa pandang SARA.
Saya melihat Buya Husein dan Gus Mus adalah cerminan dari Islam yang saya kenal. Moderat, tidak antipati terhadap kebudayaan, dan sebagaimana telah tertulis di bagian awal.
Saya sangat yakin jika banyak Ulama yang berdakwah dan memiliki perangai seperti beliau berdua, Indonesia akan ayem tentrem. Islam akan lebih dihormati bukan karena kuantitas namun kualitas, lebih unggul, dan tentu saja akan lebih mudah dalam menuju cita-cita sebagai agama yang Rahmatan lil Alamin, rahmat bagi semesta alam.
Semoga beliau berdua selalu dalam keadaan sehat, sehingga kita sebagai santri-santrinya bisa “ngalab barokah” keilmuan beliau yang luar biasa tersebut. Aamiin.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah