Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan, bisnis online lebih diganderungi oleh masyarakat. Di kalangan mereka yang melek digital berbelanja secara online lebih disukai daripada offline. Berkunjung ke toko-toko offline/fisik tidak praktis, membutuhkan biaya, tenaga, dan waktu. Salah satu sistem yang banyak diminati oleh pelaku bisnis online adalah dropship.
Dropship adalah sistem dengan teknik pemasaran di mana penjual tidak menyimpan stok barang. Dia hanya melakukan promo dengan memposting gambar-gambar lengkap dengan penjelasan spesifikasinya di market online, seperti Facebook, Instagram, WAG atau online shop.
Ketika mendapatkan order penjual tersebut langsung meneruskan order dan detail pengiriman barang yang dimaksud ke supplier. Lalu barang pesanan langsung dikirim dari supplier ke alamat pembeli atas nama dropshiper.
Dropshiper tidak menyimpan stok barang. Poin ini yang membedakannya dari reseller. Reseller harus memiliki modal yang cukup untuk menyetok barang jaulannya. Sementara dropshipper tidak perlu merogoh modal untuk kepentingan stok barang.
Dropshiper bisa langsung menjual produk hanya dengan posting gambar dan spesifikasi produk. Lalu bagaimana fikih melihat model transaksi seperti dropship ini, apakah tidak termasuk larangan menjual barang yang belum diterima/belum di tangan?
Untuk mengawali pembahasan, sebaiknya menampilkan sebuah hadis Nabi berikut ini:
لَا تَبِيْعَنَّ شَيْئًا حَتَّى تَقْبِضَه.
Artinya: “Janganlah kamu menjual sesuatu sehingga kamu (benar-benar) menerimanya”. (Sunan Al-Baihaqi, No. 10998).
Secara tekstual segera dipahami dari hadis ini bahwa pembeli dilarang menjual kembali barang yang ia beli dari orang lain, sementara barang tersebut belum diterima. Menyikapi hal ini ulama berbeda pendapat.
Menurut Hanafiyah praktik yang demikian tidak diperbolehkan karena karena selama barang belum diterima, transaksi berpotensi gagal lantaran barang rusak dan lain-lain. Sedangkan pembeli sudah kadung menjualnya kembali kepada pembeli baru. Tentu hal ini dapat merugikan pembeli baru. Andaikan barang rusak maka transaksi jual beli yang pertama menjadi batal, sedangkan transaksi yang kedua dengan sendirinya menjadi terbatalkan. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, Juz XVIII, Hal. 50).
Jual beli dengan resiko yang belum jelas dan banyaknya kemungkinan yang akan terjadi tidak diperbolehkan. Alasan mendasar dari kelompok ini karena praktik tersebut mengandung resiko (gharar). Ketidakbolehan ini berlaku terhadap barang-barang yang bisa dipindahkan, namun untuk tanah dan bangunan Abu Hanifah dan Abu Yusuf memperbolehkan menjual kembali meskipun belum diterima, karena barang jenis tersebut tidak mudah rusak, sehingga tidak mengandung resiko.
Sementara menurut golongan Malikiyah larangan tersebut hanya berlaku pada makanan saja, sedangkan selain makanan boleh dijual kembali meskipun belum diterima (qabdl). Senada dengan pendapat ini, kelompok Hanabilah yang hanya membatasi ketidakbolehan menjual kembali pada makanan-makanan yang dapat diukur kadarnya dengan takaran atau timbangan (al-muqaddarat), selain barang jenis ini menurutnya boleh. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz V, hal. 149-150., Abu Al-Mahasin Abdul Wahid bin Isma’il Ar-Ruyani, Bahru al-Mazhab Li al-Ruyani, Juz IV, hal. 509).
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, Muhammad bin al-Hasan, Imam Zufar mengatakan bahwa tidak boleh menjual barang apapun yang belum menjadi miliknya secara utuh atau sebelum barang diterima berdasarkan keumuman teks hadis di atas. Argumentasi yang dibangun bahwa praktik penjualan kembali sebelum barang diterima adalah transaksi yang batil dikarenakan penjual kedua dianggap belum mampu menyerahkan barangnya dikarenakan belum ada dalam genggamannya. Selama barang belum dalam genggaman dianggap kepemilikan yang tidak tetap, sehingga tidak memenuhi syarat kepemilikan yang sempurna (al-milk al-tamm). (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz V, hal. 150).
Selain itu, praktik dropship juga dapat dikategorikan ke dalam akad perwakilan (wakalah). Dropshiper bertindak sebagai wakil, sedangkan supplier adalah muwakkil, orang yang mewakilkan untuk menjualkan barang-barangnya.
Dalam akad wakalah, sebagaimana akad-akad yang lain, harus ada ijab kabul antara kedua belah pihak. Bentuk ijab kabul sangatlah variatif dan dinamis tidak harus ungkapan verbal “aku wakilkan kepadamu untuk…”, tetapi formatnya terus bergerak dan berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Ungkapan semisal, “silahkan kamu jual barang-barangku, silahkan pasarkan barang-barang ini ke pelangganmu” dan seterusnya, sudah merupakan bentuk ijab. Bahkan tanpa ungkapan verbalpun tetap boleh.
Dengan hanya membuat grup WhatssAp atau mengizinkan siapapun bergabung ke dalam grup tersebut melalui tautan link yang sengaja disebarkan seolah-olah supplier mengatakan, “saya ijinkan siapapun yang ada di grup ini untuk memasarkan barang-barang saya”. Kondisi ini sudah cukup sebagai bentuk ijab. (Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz IV, hal. 743).
Walhasil, jual beli sistem dropship diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah familiar di kalangan mereka. Dropship merupakan sistem penjualan yang saling menguntungkan, baik untuk supplier maupun untuk penjual (dropshiper).
Bagi supplier dengan menawarkan sistem dropship bisa memperluas pangsa pasar, sehingga bisa menjaring banyak mitra dalam memasarkan produknya, tentunya ini dapat meningkatkan penjualan secara signifikan. Sedangkan bagi penjual (dropshipper) merupakan sebuah bisnis yang bisa dimulai tanpa harus memiliki banyak modal awal dan tanpa harus repot-repot mempacking barang, yang perlu dilakukan hanya menawarkan produk dan mempromosikannya. []
Wallahu a’lam Bisshawab!
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah