tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan ingin segera. Tentang sifat ketergesa-gesaan ini terekam dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra (17) ayat 11, “Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa” dan Surat Al-Anbiya (21) ayat 37, “Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa”.

Petuah Rasulullah juga menyinggung soal manusia yang tergesa-gesa. Salah satu sifat tergesa-gesa yang digambarkan dalam Nadis Nabi adalah orang yang berdoa, namun doa tersebut tak kunjung dikabulkan secara nyata, lalu berhenti dan meninggalkan doa tersebut karena putus asa. Bahkan, Sang Nabi mengkategorikan sifat ini sebagai sifat yang menjadi ciri khas syetan.

Akan tetapi, tidak semua hal yang bersifat ketergesaan menjadi isyarat buruk. Dalam agama terdapat hal-hal yang justeru dianjurkan untuk segera dilakukan, segera ditunaikan, cepat-cepat dibereskan. Terlepas dari aspek yang lain, ternyata tindakan ketergesa-gesaan memiliki konsekuensi hukum dalam kajian fikih, sebagaimana bunyi kaidah berikut ini:

مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْأً قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ.

(man-ista’jala syai’an qabla awanih ‘uqiba bi hirmanih)

Artinya: “Barang siapa tergesa-gesa mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia disanksi menjadi terhalang untuk mendapatkannya.”

Maksud kaidah ini bahwa seseorang yang melakukan tindakan sebagai jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan, maka justru sebaliknya, bukannya ia mendapatkan apa yang dituju, malah ia menjadi terhalang untuk mendapatkan tujuan tersebut. Orang tersebut telah mengabaikan sebab-musabab umum yang seharusnya dilalui, dia mengambil cara cepat dan potong kompas untuk menggapai tujuan sebelum waktunya tiba. Maka, sebagai konsekuensi perbuatannya, ia disanksi dan dihalangi untuk memperoleh tujuan yang ingin dicapai dan manfaat yang harusnya didapat.

Orang tersebut dianggap telah melakukan perbuatan yang melampaui batas dengan cara-cara pintas yang dianggap pantas, namun terlarang secara syariat. Kaidah ini tergolong dalam tindakan strategi syariat (siyasah syar’iyah) dalam bingkai tindakan preventif untuk mencegah hal-hal yang mengarah pada rekayasa hukum.

Aplikasi kaidah: Subagyo merupakan salah satu ahli waris dari Bapak Martijo. Kemudian Subagyo ingin segera mendapatkan bagian harta waris dari Martijo dengan cara membunuh Martijo. Kematian Martijo menjadi solusi tercepat agar Subagyo segera mendapatkan harta waris. Dalam kasus ini, Subagyo terhalang untuk mendapatkan bagian harta waris sebagai konsekuensi dari perbuatannya yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan harta warisan.

Dinukil dari Umar bin Khatthab bahwa beliau berfatwa soal perempuan yang ditalak suaminya lalu nikah lagi dengan orang lain sebelum habis masa idahnya. Menurut Umar dua pasangan ini harus dipisahkan dan wanita ini haram selamanya (muabbadah) untuk dinikahi oleh suami kedua tersebut sebagai konsekuensi dari ketergesa-gesaannya menikah sebelum masa idahnya berakhir.

Jika suatu ikatan perkawinan putus (cerai) disebabkan karena si isteri murtad (melepas keimanan terhadap agama Islam), maka setelah taubat dan kembali ke pangkuan Islam, ia tidak boleh nikah lagi kecuali dengan suami yang pertama. Tindakan murtad si isteri dicurigai sebagai tindakan jalan pintas agar ia terlepas dari ikatan perkawinan dengan suami yang pertama untuk nikah dengan orang lain. Dari itu, isteri tersebut mendapatkan sanksi malah tidak boleh nikah kecuali dengan suami yang pertama.  

Hikmah kaidah dalam kehidupan: jangan terburu-buru mendapatkan hasil, jangan tergesa-gesa berharap sesuatu. Berupayalah, berusahalah, maksimalkan segala prasyarat yang harus dilalui, namun jangan mengharap hasil instan, jangan ambil jalan pintas, jangan memotong kompas. Ada saatnya biji yang ditanam itu tumbuh menjadi tunas, ada waktunya kapan buah itu menjadi masak. []

Wallahu a’lam Bisshawab.

Referensi:

Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. III, 2009), hal. 414-417.

Ibrahim Muhammad Mahmud al-Hariri, Al-Madkhal ila al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kulliyah (Yordania, Dar al-‘Imar, Cet. I, 1998), hal. 167.

 

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

kaidah sanksi

Kaidah Fikih: Sanksi Digagalkan dengan Alasan Ini

Sejak awal kehadirannya Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Hal ini terbukti dari …