Pada awal mula Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (aswaja) merupakan aliran kalam yang memiliki komitmen berpegang teguh pada hadits-hadits Nabi sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang kurang kuat berpegang teguh pada hadits Nabi, dan merupakan mayoritas kaum Muslimin (‘Ammah al-Muslimin). Aliran ini dibangun Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini, terutama al-Asy’ari yang banyak mewarnai aliran ini mulai isi maupun doktrin-doktrinnya.
Sejarah Berdirinya Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah
Menurut para ahli, sebagaimana telah diidentifikasi Harun Nasution, aliran ini timbul difaktori oleh sebab yang berbeda-beda, salah satunya menurut pendapat al-Subki dan Ibn ‘Asakir menyatakan bahwa pada suatu malam Asy’ari bermimpi bahwa Nabi Muhammad mengatakan bahwa mazhab Ahli Haditslah yang benar sedang mazhab Mu’tazilah salah, sebab lain karena ketidakpuasan al-Asy’ari dalam perdebatan melawan gurunya, al-Jubba’i. Dalam perdebatan tersebut, al-Jubba’i tidak mampu menjawab tantangan al-Asy’ari. Sebab berikutnya karena al-‘Asy’ari mengikuti mazhab Syafi’i yang telah memiliki teologi sendiri berbeda dengan Mu’tazilah.
Pada Masa khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Watiq, aliran Mu’tazilah menjadi teologi pemerintahan dinasti Abbassiyah. Lima ajaran dasar (al-usul al-khamsah) dari Mu’tazilah dijadikan semacam “Pancasilanya” dinasti Abbassiyah. Ketika itu pemerintahan Abbassiyah mengadakan ujian terhadap para hakim (al-qudah) kemudian sasaran ujian itu dilanjutkan kepada para pemuka masyarakat dan Agama. Banyak di antara mereka yang telah dikenai sanksi berupa hukuman penjara mana kala keyakinannya tidak sama dengan keyakinan Mu’tazilah.
Akhirnya aliran ini dibenci oleh mayoritas masyarakat, dan pada saat yang sama terjadi suksesi dari al-Watiq lalu diganti oleh al-Mutawakkil. Untuk mendapatkan dukungan mayoritas masyarakat yang anti sikap represif Mu’tazilah, al-Mutawakkil membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai ideologi Negara, pada 848 M.
Di samping sikap represif Mu’tazilah yang menimbulkan kebencian mayoritas masyarakat, mereka juga kurang mampu menjangkau pemikiran Mu’tazilah yang rasional-filosofis itu, sehingga mereka belum memiliki teologi yang tepat baginya. Kekosongan teologi ini direspons oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dengan membangun dan merumuskan teologi yang baru sama sekali dan cocok bagi kadar kemampuan masyarakat, yang dilandasi semangat menentang Mu’tazilah.
Alasan Abu Hasan Al-Asy’ari Membangun Teologi Ahl Sunnah Wal Jama’ah
Pengikut aliran Mu’tazilah hanya minoritas kaum Muslimin, aliran yang dibangun Washil bin Atho’ ini tidak begitu kuat berpegang teguh pada Sunnah Nabi. Maka al-Asy’ari berusaha membangun teologi yang berlawanan dengan Mu’tazilah baik pada dataran jumlah pengikut, sikap maupun respons terhadap Sunnah Nabi. Oleh karena itu, aliran yang telah didesain al-Asy’ari ini dinamakan Ahlussunnah wal Jama’ah (penjaga gawang Sunnah Nabi dan merupakan mayoritas umat Islam).
Di sini al-Asy’ari berusaha menampilkan konstruksi teologi yang berlawanan secara diametral dengan Mu’tazilah. Ajaran-ajaran al-Asy’ari antara lain yakni Tuhan memiliki sifat, al-Qur’an tidak diciptakan sebab kalau diciptakan perlu kata kun dan untuk tercipta kata kun itu dibutuhkan kata kun lainnya sehingga terdapat runtutan kata kun yang tidak berkesudahan. Ini tidak mungkin Tuhan dapat dilihat di akhirat, itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan perbuatan-perbuatan manusia bukan diwujudkan oleh manusia sendiri tetapi diciptakan oleh Tuhan yang disebut dengan istilah al-kasb.
Dalam mewujudkan perbuatan manusia yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia tidak memiliki efek Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, dan lain sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana, yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan Tuhan berkuasa mutlak dan tidak satu pun terdapat kewajiban bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya dan orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, tetapi lantaran dosanya itu ia menjadi fasiq. Orang itu tidak mungkin berada antara mukmin dan kafir.
Adapun ajaran-ajaran al-Matudidi banyak berkesesuaian dengan ajaran al-Asy’ari, tetapi ada beberapa ajaran al-Maturidi yang berkecondongan pada ajaran Mu’tazilah. Ajaran-ajaran al-Maturidi itu antara lain yakni Tuhan mempunyai sifat-sifat sebenarnya manusia yang mewujudkan perbutan-perbuatannya sendiri dia menolak ajaran al-salah wa al-aslah, tetapi Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan tetapi bersifat qadim orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Maka orang ini tidak berada pada posisi menengah janji-janji dan ancamanancaman Tuhan, kelak mesti terjadi, sedangkan tangan, wajah dan lain sebagainya yang dimiliki Tuhan mesti diberi ta’wil (arti majazi atau kiasan).
Perbedaan Pandangan Antara Al-Asy’ari Dan Al-Maturidi Dalam Beberapa Pemikiran
Contoh-contoh ajaran dari kedua tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu menunjukkan adanya perbedaan meskipun semangat keduanya sama yaitu berusaha melawan aliran Mu’tazilah. Pandangan al-Maturidi lebih rasional, sebaliknya pandangan al-Asy’ari lebih tradisional. Perbedaan kedua tokoh tersebut juga dapat ditelusuri dari jalur pengaruh mazhab fikih, al-Maturidi menjadi pengikut Imam Abu Hanifah sebagai sosok mujtahid yang paling rasional, sedangkan alAsy’ari menjadi pengikut Imam Syafi’i sebagai sosok mujtahid yang paling moderat.
Betapapun pengaruh mazhab fikih ini cukup berarti dalam menampilkan corak pemikiran teologis kedua tokoh Ahl alSunnah wa al-Jama’ah tersebut. Ketika salah satu atau kedua tokoh ini diikuti oleh masyarakat Muslim, maka akan mempengaruhi penampilan corak pemikiran tersendiri pada mereka. Apalagi ajaran-ajaran itu bila dikaitkan dengan perspektif dan penafsiran kelompok tertentu sehingga karakter Ahlussunnah wal Jama’ah akan menjadi parsial dan spesifik.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah