ahmadiyah
ahmadiyah

Haruskah Afirmasi Hak Beragama Ahmadiyah [2]: Latar Belakang Berdirinya Ahmadiyah

Secara historis, ada beberapa hal yang melatarbelakangi berdirinya Ahmadiyah. Pertama, kemunduran umat Islam di seluruh dunia, akibat imperialisme bangsa Eropa dan Amerika (Barat) di hampir seluruh dunia kaum Muslim. Tepatnya pada situasi keadaan umat Islam India yang pada saat itu mengalami kemerosotan di dalam bidang politik, sosial, agama, dan moral. Terutama setelah kejadian pemberontakan Munity tahun 1857 dimana negara Inggris menjadikan India sebagai salah satu koloninya yang terpenting di Asia. (Asep Burhanuddin, 2005: 29).  Di bawah jajahan Inggris, kelompok Muslim India berada dalam masa dan keadaan yang buruk.

Umat Islam terisolasi di negerinya sendiri. Bahkan misionaris Kristem datang ke India dengan cara gencar menyerang kelompok Muslim. Sementara itu, kelompok Hindu pun bertindak yang tidak manusiawi terhadap umat Islam. (Cahyo Pamungkas, 2017: 53-54). Hal ini diperparah dengan kondisi hubungan yang kurang harmonis di intern umat Islam sendiri karena berebut kekuasaan.

Situasi kala itu sangat mencerminkan betapa Muslim di India benar-benar tengah mengalami kemunduran dalam bidang politik, sosial, budaya, agama, dan moral. Melihat kemerosotan inilah, MGA terpanggil jiwanya, sehingga ia melakukan gerakan pembaharuan dengan mendirikan Ahmadiyah. Sebagai informasi, Nama Ahmadiyah diambil dari Alquran surat As-Sâf ayat 6, yang berisi pernyataan bahwa Nabi Isa akan kedatangan seorang Nabi setelahnya, dengan nama Ahmad (Muhammad).

Kedua, sebagian masyarakat Islam bersikap pasif dalam menyikapi era kemunduran peradabannya, karena terjebak pada doktrin ratu adil (Imam Mahdi) yang akan hadir menjelang hari kiamat. Jadi untuk memperoleh kejayaan kembali, harus menunggu Imam Mahdi turun yang diyakini masih berada di langit. Ketika Dajjal sudah muncul di dunia dan Imam Mahdi akan menghadapinya. Sehingga umat Islam hanya bersikap menanti kedatangan nabi Isa tersebut. (M. Sholikhin, 2013: 76).

Pada keadaan seperti itu, Ahmadiyah lahir dengan salah satu misinya yang berorientasi pada pembaruan pemikiran. Mirza Ghulam Ahmad dan penggantinya, sebagai utusan Allah sebagai al-Mahdi dan al-Masih—bertugas memajukan Islam dengan memberikan intepretasi terhadap ayat-ayat Alquran sesuai dengan tuntutan zaman dan ilham kepadanya.

Pada tahun 1914, Ahmadiyah terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, Ahmadiyah Qadian yang dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini meyakini bahwa kenabian setelah Nabi Muhammad tetap terbuka. Dengan demikian, kelompok ini meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, Rasul, dan Mujaddîd yang harus diikuti seluruh ajarannya. Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian ini berkembang dengan nama Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Bogor.

Kedua, kelompok Ahmadiyah Lahore. Kelompok ini dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali. Pemahaman tentang kenabian kelompok inilah yang menjadi cikal-bakal terdapat dua kelompok dalam Ahmadiyah pasca wafat MGA. Menurut Ahmadiyah Lahore, setelah kenabian Nabi Muhammad Saw., maka berakhirlah pintu kenabian. Mereka memandang MGA sebagai mujaddîd saja, bukan Nabi. Di Indonesia, kelompok ini berkembang dan dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Sejak tahun 1985, karena di tempat kelahirannya, India, Ahmadiyah ditolak sebagai bagian dari umat Islam, maka pusat kegiatannya dipindah ke London, Inggris. Di Inggris, Ahmadiyah berkembang begitu diantara sebabnya karena gelombang migrasi orang-orang India-Pakistan dan bertambahnya penganut Islam di Eropa.

Selain itu, Inggris sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, termasuk hak untuk menganut atau memeluk agama. Pada awal perkembangannya di Inggris, meskipun pengikut Ahmadiyah belum begitu banyak, namun pada tahun 1920, Ahmadiyah sudah menjadi organisasi internasional, yang ditandai dengan menyebarnya kader-kader Ahmadiyah ke seluruh dunia. Data mutakhir menyebutkan bahwa Ahmadiyah sudah tersebar ke lebih dari 190 negara di dunia dan memiliki cabang di 174 negara dengan jumlah keanggotaannya mencapai lebih dari 200 juta orang. (Cahyo Pamungkas, 2017: 55).

Bagikan Artikel ini:

About Muhammad Najib, S.Th.I., M.Ag

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta, mahasiswa Program Magister Universitas PTIQ dan Mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Check Also

ramadan

Tips Ramadan yang Berkualitas (1): Kurangi Rebahan, Perbanyak Amalan!

Sepertinya sudah menjadi pemandangan dan pemahaman umum bahwa bulan Ramadan, oleh sebagian orang, dijadikan alasan …

ramadan

Agar Maksimal, Persiapkan Diri Menyongsong Ramadan dengan 4 Langkah Ini!

Nuansa Ramadhan tahun ini sudah begitu kentara. Bukan hanya lantara tinggal menghitung hari, namun juga …