Shalat Nisfu Sya’ban adalah shalat yang dikerjakan pada malam tanggal 15 Sya’ban sebagai bagian dari ibadah yang populer di tengah masyarakat. Teknis pelaksanaannya dengan seratus rakaat, dan pada tiap-tiap satu rakaat setelah membaca Fatihah, membaca surat al Ikhlash sepuluh kali, atau boleh dikerjakan dengan sepuluh rakaat dan pada tiap-tiap satu rakaat setelah membaca Fatihah, membaca surat al Ikhlash sebanyak seratus satu kali.
Pertanyaannya, apakah shalat sunnah Nisfu Sya’ban ini memiliki dasar hukum? Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Nisfu Sya’ban. Mayoritas ulama Fiqh, menilai shalat Nisfu Sya’ban termasuk bid’ah munkaroh yang tidak boleh dikerjakan. Namun sebagian kecil dari ulama ada yang menganggapnya ini adalah amaliyah baik yang biasa dilakukan para sahabat Nabi saw. Di antara yang mengatakan shalat Nisfu Sya’ban merupakan perbuatan baik adalah imam al Ghazali dan Syaikh Abu Thalib al Makki.
Lalu, apa yang mendasari terjadinya khilafiyah di antara ulama tersebut ?
Adalah hadits tentang keutamaan shalat Nisfu Sya’ban sendiri. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al Hasan al Basri ra, ia berkata:
حَدَّثَنِيْ ثَلَاثُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ صَلَّى هَذِهِ الصَّلَاةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ نَظَرَ اللهُ تَعَالَى إِلَيْهِ سَبْعِيْنَ نَظْرَةً، وَقَضَى لَهُ بِكُلِّ نَظْرَةٍ سَبْعِيْنَ حَاجَةً أَدْنَاهَا اَلْمَغْفِرَةُ
Artinya: “Menceritakan kepadaku 30 sahabat Nabi saw bahwa orang yang melakukan shalat di malam ini (Nisfu Sya’ban) maka Allah swt akan memperhatikannya dengan 70 perhatian, pada setiap satu perhatian, Allah swt akan mengabulkan 70 hajatnya, dari paling rendahnya hajat yang akan dikabulkan adalah ampunan dari Allah swt”
Menurut imam Nawawi hadits ini sudah masuk kategori hadits maudhu’ (palsu), sebab itulah Imam Nawawi menganggap shalat nisfu Sya’ban dengan tata cara seperti di atas, hukumnya bid’ah munkarah, karena menilai hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah fadhoilul a’mal.
Hal ini berbeda menurut imam al Ghazali dan Abu Thalib al Makki menilai hadits di atas tidak sampai kepada derajat maudhu’, hanyalah dhoif saja.[1] Sementara hadits dhoif masih bisa diakai dalam fadhoilul a’mal (amaliyah keutamaan-keutamaan), karena tidak bersinggungan dengan hukum. Sebab itu, kedua imam ini menganjurkan melakukan shalat nisfu sya’ban dengan cara yang telah disebutkan di atas.
Jadi ini sebenarnya letak terjadinya perbedaan hukum mengenai shalat Nisfu Sya’ban yang diperdebatkan oleh para ulama’.
Lalu, bagaimana cara mengkompromikan dua pendapat ini sehingga melakukan qiyamulllail di malam Nisfu Sya’ban mendapat legitimasi dari semua ulama ?
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa letak perbedaan pendapat tentang shalat Nisfu Sya’ban yaitu pada hadits di atas. Artinya, menurut ulama yang mengharamkan shalat Nisfru Sya’ban atau menilai amaliyah bid’ah munkarah jika shalat tersebut dilakukan sesuai apa yang tertera dalam hadits. Bukan masalah melaksanakan shalat di malam itu, tetapi karena tatacaranya yang dianggap mengada-ada. Sebab ulama sepakat bahwa malam Nisfu Sya’ban memiliki keutamaan tersendiri dibandingkan malam-malam yang lain.
Sehingga dengan demikian, maka solusi yang paling baik untuk tetap menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan berbagai amaliyah thayyibah, yaitu melakukan dengan shalat sunnah mutlak atau shalat sunnah tasbih. Karena yang terpenting dalam menghidupkan malam Nisfu Sya’ban adalah melakukan amaliyah-amaliyah yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah swt.
Syaikh Abdul Hamid bin Abdil Qadir al Qudsi berkata: “Yang paling utama di malam Nisfu Sya’ban yaitu melakukan shalat tasbih yang diajarkan Nabi Muhammad saw kepada sayyidina Abbas ra, pamannya”[2]
Jadi inilah solusi untuk menghindari perbedaan pendapat di antara ulama tentang shalat Nisfu Sya’ban agar tetap dapat melakukan amaliyah thayyibah dengan shalat di malam yang mulya itu.
Wallahu a’lam
[1] Umar Syatha, Hasyiyata I’anah al Thalibin, Juz 1, Hal 312
[2] Abdul Hamid bin Abdil Qadir al Quds, Kanzu al Najah wa al Surur, Hal 175