shalat tarawih
puasa milenial

Fikih Puasa untuk Milenial (3) : Mengenal Asal Usul Shalat Tarawih, Ibadah Sunnah dengan Nuansa Syiar Islam

Sejatinya tidak ada istilah shalat tarawih pada zaman Rasulullah. Apakah ini bid’ah? Tentu tidak. Hati-hati saudara bilang ini bid’ah itu bid’ah sembarangan. Penggunaan istilah atau modifikasi dalam kebaikan adalah hal biasa, termasuk dalam ibadah. Tidak usahlah dikau menyaringkan suara untuk selalu menuduh bid’ah yang terkesan menakutkan. Begini ceritanya.

Shalat tarawih yang kita sering kerjakan pada malam bulan Ramadan merupakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Rasulullah bersabda: “Barang siapa beribadah di malam-malam bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab, maka dihapuslah dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim). Dalam hadist lain dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah menganjurkan untuk melaksanakan qiyam Ramadan dengan tanpa penekanan”. (HR. Bukhari).

Dari hadist di atas pelaksanaan shalat tarawih sudah dilakukan dan sangat dianjurkan sebagai bentuk qiyam Ramadan atau menghidupkan malam-malam bulan suci. Karena itulah, para ulama madzhab fikih dengan ijtihadnya menetapkan shalat tarawih sebagai shalat sunnah mi’akkadadah yakni shalat sunnah yang sangat dianjurkan.

Kenapa ulama sampai pada taraf menetapkan hukum sunnah muakkad? Kenapa tidak wajib saja biar umat rajin semua? Inilah cerdasnya para ulama salaf yang memberikan hukum berdasarkan dalil naqli dan ra’yi.

Shalat tarawih pertama kali dilakukan oleh Rasulullah dan diikuti oleh para sahabat dan juga jamaahnya. Catatan saya kembali, meskipun pada saat itu tidak dikenal istilah shalat tarawih ya. Pada malam selanjutnya sebagian sahabat yang tidak ikut pada malam sebelumnya hadir sehingga shalat tarawih Rasulullah di masjid diikuti oleh banyak jamaah dibandingkan malam sebelumnya.

Akhirnya, malam ketiga masjid semakin penuh dengan jamaah yang menanti kedatangan Rasulullah, namun sayangnya Rasulullah tidak keluar rumah. Sebenarnya Rasulullah mengetahui keinginan para sahabat dan juga jamaahnya untuk shalat tarawih bersamanya. Namun beliau memiliki kekhawatiran, jika Allah akan menurunkan wahyu tentang perintah shalat tarawih yang sunnah menjadi wajib.

“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, ‘Sunguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, ‘Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Artinya, shalat tarawih ini sangat dianjurkan (muakkad) untuk menghidupkan malam-malam Ramadan. Namun, taraf dianjurkan tidak sampai batas pada wajib. Rasulullah sudah mengantisipasinya agar ini tidak dianggap ibadah yang wajib.

Pada zaman Khalifah Abu Bakar, shalat tarawih dilakukan sendiri-sendiri atau memiliki kelompok kecil dengan 1 imam 5 makmum. Selain itu, rakaat dalam shalat tarawihpun belum ada ketetapan yang secara jelas, namun para sahabat ada yang melaksanakan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat. Semua dilakukan semata untuk mengikuti Rasulullah untuk menghidupkan malam Ramadan.

Nah, berubah keadaan ketika khalifah Umar bin Khattab berinisatif untuk menggelar shalat tarawih secara berjamaah. Perubahan ini terjadi karena saat itu Umar melihat ketidakkompakan umat muslim yang malah memiliki kelompok sendiri-sendiri dalam beribadah.

“Dari ‘Abdirrohman bin ‘Abdil Qori’ beliau berkata; ‘Aku keluar bersama Umar bin Khatthab ra ke Masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjama’ah. Lalu Umar berkata: ‘Aku punya pendapat andai kata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah satu imam, niscaya itu lebih bagus.’ Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjama’ah di belakang satu imam. Umar berkata: ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjama’ah)’,” (HR: Bukhari).

Dengan ijtihadnya, khalifah Umar mencetuskan ide yang bisa dikatakan sebagai bid’ah hasanah. Di sinilah pelajaran penting tidak semua modifikasi dan ijtihad dalam hal furu’ lalu berbuah penghakiman bid’ah yang kadang terlalu menakutkan untuk dikatakan. Khalifah Umar justru mengatakan inilah sebaik-baiknya bid’ah.

Dengan ijtihad Khalifah Umar inilah, harapan Rasulullah agar bulan Ramadan dihidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang begitu indah terlaksana hingga saat ini. Tarawih menunjukkan ibadah yang banyak pahalanya. Tarawih juga mempersatukan umat Islam yang tercerai. Dan tarawih memunculkan syiar Islam yang sangat luar biasa membahana.

Artinya, begini saudara-saudaraku, jika ada modifikasi dalam menghidupkan malam Ramadan dengan berbagai kebaikan senyampang tidak bertentangan dengan syariat, tetapi malah menghidupkan syiar Islam, tidak usahlah alergi. Mau malam Ramadan dihiasi dengan tadarus berjamaah, pengajian berjamaah, membaca shalawat berjamaah, atau apapun dengan istilah lain itu semata dilakukan untuk mengikuti anjuran Rasulullah menghidupkan malam-malam Ramadan penuh berkah.

Sampai di sini paham? Ya sudah kita fokuskan diri untuk beribadah, jangan ributkan persoalan khilafiyah. Hidupkan syiar Islam dengan caramu bisa menjangkau hati seluruh manusia.

Bagikan Artikel ini:

About Sefti Lutfiana

Mahasiswa universitas negeri jember Fak. Hukum

Check Also

pendidikan seks

Pendidikan Seksual bagi Anak Menurut Islam

Pendidikan seks menjadi topik yang sering kali menjadi kontroversi dan tabu dalam masyarakat Indonesia. Persoalannya …

kesehatan puasa

Menjaga Harmoni antara Kesehatan Jasmani dan Rohani : Belajar dari Praktek Berpuasa

 Perbincangan mengenai kesehatan jasmani dan rohani seringkali menimbulkan beragam pandangan. Namun, seharusnya kita tidak melihatnya …