ide khilafah
ide khilafah

Sistem Pemerintahan Khilafah Perintah Al Qur’an?

Tulisan ini dihadirkan khusus untuk menanggapi tulisan dari Najmah Saiidah di web muslimahnews[dot]net pada tanggal 8 Maret 2023 berjudul “Benarkah Khilafah dan Demokrasi adalah Hasil Ijtihad?” yang khusus dialamatkan untuk menanggapi tulisan saya, Faizatul Ummah, di laman web islamkaffah[dot]id berjudul “Meluruskan Kesalahan Pemaknaan Konsep Darul Islam dan Darul Harbi”.

Beberapa hari setelahnya, Najmah juga telah menanggapi tulisan saya di atas di laman web yang sama pada tanggal 13 Maret 2023 berjudul “Dar Harbi dan Dar Islam, Indonesia termasuk yang Mana?”. Tulisan ini telah saya tanggapi di laman web islamkaffah(dot)id pada tanggal 18 Maret 2023 berjudul “Benarkah Indonesia termasuk Dar Harbi?”.

Dengan demikian, ia telah menanggapi tulisan saya di atas sebanyak dua kali. Tidak menutup kemungkinan ada tanggapan lain yang ia tulis dan belum saya ketahui. Hal ini membuktikan dirinya sangat serius terhadap mengatur argumen tentang angan-angan dan mimpi “khilafah”.

Kali ini saya akan menanggapi untuk kedua kalinya, yakni tulisan Najmah Saiidah yang juga disebarkan di postingan facebook Najmah Saiidah sebagai nama profilnya yang judulnya telah saya sebutkan. Namun, saya akan memberikan penjelasan lebih detail, satu persatu dari beberapa poin yang saya anggap penting untuk dijelaskan karena argumen Najmah memilih tanggapan yang dangkal dan tidak menusuk tajam pada substansi pembahasan. Seperti, ketika ia menyatakan, keliru kalau mengatakan khilafah tidak ada dalam al Qur’an dan hadits. Lengkapnya di bawah ini tanpa saya tambah dan tidak pula dikurangi.

“Jika kita mencermati tulisan tersebut, ada beberapa hal yang perlu kita kritisi sekaligus diluruskan. Memang tidak salah jika dikatakan bahwa demokrasi dan Khilafah tidak ada di dalam rukun iman dan rukun Islam. Akan tetapi, jika dikatakan bahwa Khilafah tidak ada di dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah, jelas ini pendapat keliru. Terlebih kata “Khilafah” di dalam hadis sangat tegas disebutkan.”

Sayang sekali Najmah tidak menyebutkan ayat-ayat al Qur’an yang berbicara tentang khilafah/khalifah. Seharusnya ia menyebut ayat-ayat yang dimaksud dan menjelaskan makna khalifah dalam ayat-ayat tersebut, apakah memiliki konotasi makna sebagai “pemimpin politik atau pemimpin agama”. Ini yang saya maksud penjelasan Najmah tidak menyentuh pada hal yang substantif dan argumentatif.

Karenanya, saya fokus dulu menjelaskan ayat-ayat al Qur’an yang menyebut kata “khalifah” serta maknanya berdasar pada kitab-kitab tafsir otoritatif serta kajian historis, bukan sekadar propaganda yang bersifat ahistoris seperti apa yang ditulis oleh Najmah.

Ayat-ayat Khalifah dalam al Qur’an

Pertama, dalam surat al Baqarah ayat 30 Allah berfirman:  “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

“Khalifah” pada ayat ini tidak berbicara tentang khalifah sebagai pemimpin politik/negara. Setting historis (sabab an nuzul) ayat ini berbicara tentang penciptaan Nabi Adam beserta anak turunnya yang ditegaskan oleh Allah sebagai “Khalifah di bumi”, yakni, semua anak cucu Adam bertugas mengelola bumi. Jadi, bukan khalifah dalam konotasi makna sebagai pemimpin politik/negara. Namun, memang acapkali kelompok seperti HTI menggunakan ayat ini untuk justifikasi wajibnya khilafah.

Pemaknaan ini didukung oleh ayat-ayat lain. Dalam kitab-kitab ushul fikih dijelaskan, di antara fungsi ayat-ayat al Qur’an adalah menjelaskan keumuman makna ayat yang lain. Demikian pula hadits, salah satu fungsinya adalah sebagai penjelas keumuman makna ayat-ayat al Qur’an.

Di antara ayat al Qur’an yang semakin menegaskan bahwa makna khalifah pada ayat di atas bukan khalifah dalam arti pemimpin politik/negara adalah ayat berikut.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (QS. al Ahzab: 72).

Ayat ini sebagai penegas, makna khalifah pada ayat sebelumnya bukan bermakna khalifah sebagai pemimpin politik/negara. Penafsiran ini sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab tafsir otoritatif seperti tafsir Thabari, al Sa’di, Qurthubi, Ibnu Katsir dan lain-lain.

Kata khalifah juga disebut dalam surat Shad ayat 26 : “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi ini, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…”.

Yang perlu dipahami, Nabi Daud diutus jauh sebelum Nabi Muhammad. Nabi Daud adalah Raja Bani Israil. Dan, istilah khalifah dalam sejarah umat Islam baru muncul pasca wafatnya Rasulullah, tepatnya pada masa Dinasti Bani Umayyah.

Ayat-ayat lain yang memiliki korelasi makna sebagai penegas bahwa kata khalifah pada surat Shad ayat 26 tidak bermakna khalifah sebagai pemimpin politik/negara, di antaranya surat al Isra’ ayat 70 dan surat al Anbiya’ ayat 105.

Ibnu Khaldun, sejarahwan termasyhur dalam kitabnya Muqaddimah menjelaskan, Abu Bakar bergelar Khalifah al Rasul (pengganti Rasul). Pengganti Rasul sebagai pemimpin umat, bukan sebagai pemikul amanat kenabian. Demikian pula Umar bin Khattab, gelarnya Khalifatu Khalifah al Rasul (pengganti dari pengganti Rasul), yakni pengganti Abi Bakar. Demikian seterusnya gelar khalifah ketiga dan keempat. Sehingga, sekalipun gelar khalifah tetap dipakai namun di masyarakat penyebutan untuk khalifah kedua, ketiga dan keempat adalah “Amirul Mukminin”. Sebab kalau gelar khilafah tetap dipakai penyebutannya menjadi sangat panjang. Semisal untuk menyebut gelar Utsman bin Affan adalah “khalifatu khalifatu al Rasul”.

Ayat lain ada yang memakai istilah khalaif fi al ardhi dan khalaif al ardhi (QS. al An’am: 165, QS. Yunus: 14). Dua ayat ini juga tidak memiliki makna sebagai khalifah pemimpin politik/negara. Jadi, tidak ada satupun ayat al Qur’an yang membicarakan tentang khalifah dengan konotasi sebagai pemimpin politik/negara, apalagi mengatakan al-Quran telah berbicara tentang sistem pemerintah khilafah.

Menjadi jelas, bahwa kata khalifah dalam pengertian ia sebagai pemimpin politik/negara dan pula sistem pemerintahan tidak ditemukan dalam al Qur’an. Berikutnya akan saya jelaskan tentang hadits-hadits yang ditulis Najmah Saiidah yang diklaim sebagai perintah penegakan sistem pemerintahan khilafah. Bahwa sesungguhnya klaim itu adalah kebohongan.

Tentu, semua ini dilakukan dalam rangka membangun nuansa pemikiran keislaman yang baik sebagaimana ulama terdahulu juga saling tidak sepakat dalam banyak hal. Inilah ruang ijtihad yang tidak mengenal kebenaran absolut. Ijtihad digali dari sumber utama Al-Quran dan Hadist dengan metode yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Bukan dengan cara mengeksploitasi  ayat tertentu untuk dijadikan justifikasi pembenaran pemikiran dan ideologi kelompok tertentu, termasuk kelompok pengasong khilafah.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …