Dalam beberapa riwayat dikisahkan, ketika Rasulullah saw wafat, kaum Muhajirin berkumpul di rumah Sayyidah Aisyah ra dalam rangka ta’ziyah. Di antara yang paling bersedih adalah sahabat Abu Bakar ra dan Umar ra. Bahkan di luar kesadarannya, sahabat Umar bin Khattab ra tidak percaya Rasulullah saw telah wafat, dan akan memenggal siapapun yang mengatakan Rasulullah saw wafat. Baru ia luluh hatinya dan sadar kembali ketika sahabat Abu Bakar ra mengatakan bahwa Rasulullah saw benar-benar telah wafat.
Di tengah-tengah suasa sedih kaum Muhajirin atas meninggalnya Rasulullah saw, ada seseorang berbisik kepada Umar bin Khattab ra bahwa kaum Anshar sedang berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Maka Umar bin Khattab ra mengajak Abu Bakar ra pergi ke tempat tersebut untuk mengetahui dan memastikan apa yang sedang dilakukan.
Di pertengahan jalan, mereka berjumpa dengan dua sahabat Anshar. Menurut Az Zuhri ra kedua sahabat tersebut adalah Uwaim bin Saidah r dan Ma’an bin ‘Adi ra. Kedua sahabat Anshar ini melarang Abu Bakar ra dan Umar ra pergi ke Saqifah. Akan tetapi mereka memaksa tetap ke Saqifah untuk memastikan apa yang terjadi di Saqifah. Maka akhirnya mereka pergi bersama-sama.
Sesampainya di Saqifah, ada orang yang duduk-duduk. Lalu Umar bin Khattab ra bertanya: “Siapa ini ?” Mereka menjawab: “Sa’ad bin Ubadah”, Umar bin Khattab ra bertanya lagi: “Apa maunya ?”, mereka menjawab: “Dia demam”.
Lalu, terjadilah perdebatan antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Inti perdebatan tersebut saling mengungkapkan argumentasi tentang siapa yang paling layak menjadi pengganti Rasulullah saw dalam memimpin Islam. Menurut kaum Anshar, mereka yang lebih berhak karena mereka lebih kuat, lebih banyak, bahkan mereka yang menolong kaum Muhajirin ketika terancam oleh kafir Quraisy. Sementara menurut kaum Muhajirin, pihaknya yang lebih berhak, sebab mereka yang pertama kali masuk Islam, menemani Rasulullah saw dan membela mati-matian dalam menegakkan agama yang dibawanya, hingga harta benda di daerahnya ditinggalkan.
Setelah Abu Bakar ra menyampaikan argumentasinya bahwa hakikatnya kaum Muhajirin dan kaum Anshar sama-sama orang yang dimulyakan oleh Allah swt dan memiliki kelebihan, lalu ia mengajak kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang hadir di tempat itu untuk membaiat antara Umar bin Khattab ra dan Abu Ubaidah bin Jarrah ra sambil memegang kedua tangannya. Hanya saja Umar bin Khattab ra menolak dibaiat, karena merasa ada yang lebih layak dibanding dirinya.
Usulan Abu Bakar ra hakikatnya diterima oleh semua kalangan. Namun sampai di sini, belum menemukan titik terang siapa yang akan dipilih. Hingga terjadilah debat argumentasi antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang diwakili oleh Umar bin Khattab ra. Perdebatan tentang sistem ini semakin alot dan lebih menegangkan dibanding yang pertama. Lalu Ubaidah bil Jarrah ra berkata di tengah-tengah ketegangan tersebut: “Wahai kaum Anshar, Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang pertama-tama menolong dan mendukung Rasulullah saw, maka janganlah sekali-kali menjadi orang-orang yang pertama-tama mengganti dan merubah”.
Rupanya apa yang dikatakan Ubaidah bin Jarrah ra cukup menyadarkan kaum Anshar. Sehingga di antara mereka menerima pihak kaum Muhajirin menjadi khalifah setelah Rasulullah saw. Dan dibaiatlah Abu Bakar ra sebagai khalifah saat itu di Saqifah Bani Saidah, dan beberapa hari berikutnya dibaiat kembali secara umum sebagai bentuk kesepakatan umat Islam terhadap Abu Bakar ra sebagai pengganti Rasulullah saw.
Kisah ini banyak dimuat dalam kitab-kitab sejarah (tarikh) dan hadits dengan jalur riwayat yang berbeda-beda. Artinya kwalitas kisah ini sangat kuat.
Ada tiga pesan yang dapat kita tangkap dari kisah yang singkat di atas, yaitu:
- Memilih pemimpin harus orang yang lebih pantas secara umum sebagai pemimpin, bukan menurut pandangan individu.
- Kesepakatan hasil musyawarah bersama harus dijalankan.
- Belajar bersikap menerima pemimpin dari golongan orang lain jika dianggap lebih pantas atau sesuai kesepakatan
Mari kita belajar dari kisah pemilihan khalifah pertama ini untuk kita terapkan dalam hasil Pemilu di tahun 2024, dengan menerima orang yang bukan pilihan kita sebagai imam dalam negara Indonesia.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah