aswaja
aswaja

Ahlussunah wal Jama’ah Solusi Darurat Radikalisme

Indonesia, belakang ini dicekam kekhawatiran dan ketakutan. Harmonisasi kehidupan yang selama ini terbina mulai diselimuti mendung kelabu. Penyebabnya tak lain adalah akutnya terorisme yang mulai menyubur ditandai dengan aksi-aksi radikalisme dan terorisme dengan beragam bentuknya. Mulai dari persekusi, perobohan dan pengrusakan tempat ibadah dan penyerangan terhadap tokoh-tokoh agama.

Rentetan peristiwa-peristiwa tersebut menjadi preseden buruk bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai pluralitas dan persamaan tiba-tiba saja terkoyak, tercabik dan menjadi aib bagi bangsa Indonesia karena sebelumnya pluralisme itu berjalan begitu indah.

Tentu saja, alam sadar rakyat Indonesia tidak menginginkan hal ini terjadi, tapi entah kenapa radikalisme tumbuh begitu suburnya. Radikalisme, apapun bentuknya, menjadi momok menakutkan bagi keberlangsungan pluralisme di Indonesia.

Karenanya, kita perlu belajar dan mempelajari, kenapa dulu toleransi berjalan baik, tapi saat mutakhir ini mulai punah tergantikan oleh radikalisme yang merajalela?

Kita, khususnya penganut agama Islam, perlu membaca ulang sejarah. Apa yang diajarkan oleh penghulu dan pemuka agama Islam tempo dulu sehingga mampu membingkai semangat “rahmatan lil’alamin” dengan begitu indah?.

Jawabannya tidak ada lain karena konsep Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja) yang sukses ditanamkan dalam sanubari setiap muslim. Konsep Aswaja yang dipedomani oleh umat Islam era awal, seperti pada masa wali songo, menjadi pengayom keragaman dan keberagamaan di Nusantara.

Secara sederhana, Aswaja merupakan konsep beragama yang menekankan tingkah laku dan praktik ibadah mengikuti al Qur’an dan hadis dan aturan hukum fikihnya menganut salah satu empat madhab fikih, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Sementara dalam bidang akidah mengikuti dua teolog Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.

Salah satu ajaran Aswaja adalah larangan keras mengutuk dan melaknat sesama muslim. Doktrin ini disampaikan oleh, salah satunya, Imam Ghazali dalam karyanya Bidayatul Hidayah. Agama Islam melarang muslim mencaci atau memvonis kafir, munafik, atau musyrik kepada muslim lain. Alasannya, karena keimanan adalah rahasia hati antara seorang muslim dengan Allah. Vonis kafir, munafik, atau musyrik berarti mengintervensi ranah prerogatif Allah.

Lanjut al Ghazali, seseorang tidak akan ditanya, “kenapa kamu tidak melaknat si Fulan, kenapa kamu membiarkannya”? Juga tidak akan ditanya, “kenapa kamu tidak pernah mengutuk iblis”?. Tetapi, seseorang akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban jika melaknat siapapun dari makhluk Allah.

Penyampaian al Ghazali ini tidak lain merupakan terjemahan dari hadis Nabi “Kita berhukum berdasarkan penampakan lahiriyah, dan Allah yang memutuskan apa yang sejatinya tersembunyi dalam batin”. (Baihaqi, Sunan al Kubro, 8/196).

Aswaja memberi penekanan kuat terhadap keluasan rahmat atau kasih sayang Allah. Pluralisme merupakan garis takdir. Maka Mengakui perbedaan dan keragaman merupakan kewajiban. Dakwah adalah kewajiban umat Islam, tapi kewajiban tersebut sebatas menyampaikan tidak boleh memaksa. Hidayah milik Allah manusia hanya berusah memperingati.

Doktrin Aswaja inilah yang sejak dulu mampu menjadi perekat kebhinekaan di Indonesia. Sehingga radikalisme yang memang dilarang oleh agama Islam tidak kita temukan. Yang dijumpai adalah kerukunan, persaudaraan, persamaan dan hidup harmonis. Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia benar-benar membawa kedamaian, waktu itu. Tapi kini, dirusak oleh segelintir manusia yang mengatasnamakan dan menjual agama Islam dengan paham radikalisme.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …