PPKM agenda kafir
PPKM darurat

PPKM Darurat, Melihat Istilah Darurat dalam Tinjauan Fikih?

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat resmi berlaku sejak tanggal 3 Juli 2021 kemaren. Upaya ini merupakan kelanjutan dari langkah-langkah sebelumnya sebagai ikhtiar dalam memutus dan mencegah rantai penyebaran Covid-19.

Tentu saja kebijakan PPKM darurat langsung menuai pro kontra dari masyarakat. Ada yang setuju dan juga ada yang tidak. Hal ini menjadi wajar, karena kebijakan ini berdampak pada beberapa sektor kehidupan secara langsung. Aktifitas dibatasi berdampak pada berkurangnya pendapatan ekonomi masyarakat.

Dan yang paling krusial adalah pada aspek pelaksanaan ibadah. Sebab, sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Agama, di wilayah kategori zona merah kegiatan ibadah di masjid, mushalla, gereja, pura dan tempat ibadah yang lain ditutup dan dihentikan. Dan menjelang perayaan Idul Adha tentu saja hal ini sangat menyedihkan umat Islam.

Tidak mengherankan jika ada yang penceramah yang geram dengan istilah masjid ditutup. Dalam video yang viral seorang pria di Situbondo pun berteriak “perang” jika masjid ditutup. Bagi mereka masjid bukan salah satu kanal penyebaran covid-19. PPKM Darurat yang salah satunya menghimbau masjid tutup dimaknai sebagai pembatasan beribadah atau mungkin pelarangan ibadah.

Ada yang perlu disadari oleh masyarakat dengan lonjakan kedua yang luar biasa dan mencetak rekor kasus positif setiap harinya. Tenaga kesehatan yang berguguran, sementara virus covid-19 ini semakin bermutasi dengan ragam varian baru yang sangat mengerikan. Karena itulah, posisi kebijakan yang dinamakan PPKM Darurat ini menempatkan kondisi dalam kondisi darurat dalam menjaga kemaslahatan bersama.

Pertanyaannya, apakah kebijakan PPKM Darurat ini tidak bertentangan dengan Islam khususnya hukum fikih?

PPKM Darurat dalam Tinjauan Fikih

Darurat sebenarnya serapan dari kata dharurah dalam bahasa Arab yang bermakna suatu kebutuhan yang sangat mendesak, sesuatu yang tidak dapat dihindari atau sesuatu yang memaksa. Di dalam al Qur’an (al Baqarah: 173 dan al An’am: 119)  istilah yang dipakai adalah al idhthirar. Dua kata ini, dharurah dan idhthirar, memiliki makna yang sama secara bahasa.

Dijelaskan oleh al Hamawi dalam Hasyiyah al Hamawi ‘ala al Asybah wa al Nadhair li Ibnu Nujaim (108), darurat adalah puncak keterpaksaan yang jika tidak melanggar sesuatu, meskipun dilarang, akan dapat membahayakan jiwa.

Untuk hal ini, kemudian para ulama membuat satu kaidah fikih :

الضرورة تبيح المحظورات

Artinya : “Kondisi darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”.

Impelemtasi dari kaidah di atas yang sering dicontohkan dalam kitab fikih adalah kebolehan memakan bangkai bagi orang yang dalam kondisi dharurat. Seseorang yang sangat lapar dan tidak menemukan makanan selain bangkai, maka dalam upaya mempertahankan hidup ia wajib memakan bangkai tersebut. Sebagaimana dimaklum, hukum bangkai adalah haram. Tapi dalam kondisi darurat menjadi halal.

Apakah kaidah ini berlaku tanpa batas?. Tentu tidak. Kebolehan memakan bangkai hanya pada kadar mempertahankan jiwa. Artinya, tidak bebas memakan sebanyak-banyaknya.

Kaidah fikih yang membatasi kaidah di atas salah satunya adalah :

ماابيح الضرورة يقدر بقدرها

Artinya : “Apa saja yang diperbolehkan karena darurat, ditentukan menurut kadar bahayanya”.

Syaikh Muhammad Mushthafa al Zuhaili dalam kitabnya al Qawaid al Fiqhiyyah wa Tathbiqatiha fi al Madahib al Arba’ah (1/281) menjelaskan, kaidah ini membatasi penerapan kaidah yang pertama. Hal-hal yang diperbolehkan karena darurat hanya sebatas kadar bisa menghilangkan situasi darurat tersebut.

Ulama fikih sepakat (ijma’) akan hal ini. Lihat misalnya dalam Fathu al Bari (10/65), al Majmu’ (9/39), al Mughni (9/412), Maratib al Ijma’ (151).  Bangkai, darah, air kencing dan daging babi yang awalnya haram menjadi halal bagi seseorang yang khawatir dirinya menjadi binasa karena kelaparan dan kehausan. Tapi dengan catatan, hanya seukuran bisa menyelamatkan dirinya dari kematian. Lebih dari itu hukumnya tetap haram.

Berangkat dari sini, maka PPKM Darurat sejatinya tidak menyalahi hukum fikih bahkan ketika seolah harus berbenturan dengan aturan seperti ibadah di masjid dan lainnnya. Sebab kebijakan ini diambil sebagai upaya menjaga sesuatu yang sangat penting dan menjadi tujuan inti diundangkannya hukum Islam, yakni kemaslahatan jiwa.

Dalam ushul fiqh ada istilah Daruriyah al Khamsah, lima pilar yang menjadi pondasi hukum Islam. Yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kemaslahatan primer ini menjadi pertimbangan paling pertama dan paling utama dalam penerapan hukum Islam. Sebab bila lima pilar utama ini tidak terwujud, maka rusaklah kehidupan dunia.

PPKM Darurat adalah upaya menjaga salah satu pilar utama tersebut, yakni menjaga jiwa. Oleh karena itu, dalam keadaan darurat dalam upaya menjaga jiwa ini yang haram menjadi halal. Apalagi yang sunnah, makruh, atau yang mubah.

Sesungguhnya jika umat Islam menyadari pentingnya menjaga jiwa dalam Islam, kebijakan PPKM Darurat tidaklah akan menjadi kontroversi. Pembatasan bukan pelarang beribadah. Jika kondisi darurat sudah tidak ada lagi, maka hukum kembali pada kondisi normal. Artinya, kembali masjid dibuka, beribadah bersama-sama akan dimeriahkan kembali, meskipun dengan protokol kesehatan yang harus terus dijalani bersama.

Marilah beragama dengan taat, tetapi gunakan ilmu dalam beribadah. Beragama hanya mengandalkan emosi semata tanpa ilmu justru mengesankan sempitnya ajaran Islam. Padahal Islam agama yang mudah yang memudahkan umatnya. Allah tidak menurunkan syariat Islam untuk membuat manusia berada dalam kondisi sulit, apalagi dalam kondisi darurat.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …