politik nabi

Apakah Nabi Muhammad Mengajarkan Politik?

Ada pertanyaan yang menggelitik, apakah Nabi Muhammad mengajarkan politik? Pertanyaan ini dimunculkan terkadang untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu yang sedang memperjuangkan sistem politik berdasarkan agama. Karenanya, mereka butuh legitimasi historis bahwa Nabi mengajarkan politik.

Sebenarnya tidak susah untuk menjawab itu. Jangankan politik, Nabi bahkan mengajarkan ekonomi, ilmu kemasyarakatan hingga seni berperang. Bahkan, hal paling sederhana tentang etika sebelum tidur, bangun tidur hingga masuk toilet pun diajarkan. Apalagi persoalan politik yang menyangkut hajat orang banyak.

Ketika membicarakan Nabi Muhammad SAW, banyak orang hanya mengingatnya sebagai pemimpin spiritual, nabi terakhir, atau teladan pribadi. Padahal, satu sisi penting dari kenabian beliau yang sering diabaikan adalah kepiawaiannya dalam membangun tata kelola politik yang adil, inklusif, dan berakhlak.

Prinsip Politik Nabi Membangun Negara

Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW tidak hanya membentuk masyarakat baru berbasis keimanan, tetapi juga meletakkan fondasi sistem politik yang berpijak pada keadilan, musyawarah, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Itulah pengajaran politik Nabi yang layak ditiru.

Salah satu warisan politik terbesar Nabi adalah Piagam Madinah, sebuah konstitusi tertulis pertama di dunia yang mengatur kehidupan masyarakat multikultural di Madinah. Piagam ini menggabungkan komunitas Muslim, Yahudi, dan berbagai suku Arab ke dalam satu kesatuan politik yang harmonis, berlandaskan kesetaraan dan kerja sama.

Tidak ada paksaan agama, tidak ada dominasi satu kelompok atas yang lain. Dalam dunia yang kerap dilanda fanatisme dan sektarianisme, Piagam Madinah menjadi bukti bahwa politik Islam sejati justru menghargai pluralitas.

Titik tekan jika ingin mempelajari politik Nabi adalah bahwa politik Islam sangat menghargai pluralitas. Jaminan perbedaan agama dan suku sangat ditekankan. Bahkan, dalam perumusan Piagam Madinah Nabi menghindari identitas simbolik Islam demi mencapai kemashlahatan ammah. Itulah politik Islam.

Jika ingin menerapkan politik Nabi adalah politik yang menghargai perbedaan dengan mengesampingkan kepentingan individu dan kelompok. Nabi menyebut komunitas Madinah dengan ummah yang saling melindungi. Jika hanya memperjuangkan pemerintahan Islam, tetapi mengabaikan prinsip kesetaraan dan perlindungan terhadap yang berbeda, berarti itu tidak mengikuti garis politik Nabi.

Prinsip Politik sebagai Pemimpin Ala Nabi

Nabi SAW menegaskan bahwa kekuasaan bukan alat untuk menindas, melainkan amanah untuk melayani. “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka,” sabda beliau (HR. Ibnu Asakir). Ini bukan sekadar retorika, tapi dipraktikkan dengan nyata. Nabi hidup sederhana, transparan, dan terbuka terhadap kritik. Ia bermusyawarah dalam berbagai keputusan penting, bahkan dalam urusan militer, meskipun beliau memiliki wahyu.

Bahkan dalam suatu Riwayat seorang sahabat dalam musyawarah itu mengoreksi siasat perang Nabi. Sahabat itu bertanya apakah strategi itu dari Nabi secara pribadi atau dari wahyu. Sahabat pun memberikan pandangan yang berbeda dan diterima oleh Nabi.

Nabi pribadi terbuka dan selalu menyerap masukan dalam bentuk musyawarah. Pemimpin yang tidak otoriter dan tidak memaksakan kehendak. Keputusan diambil bersama dengan musyawarah.

Dalam Al-Qur’an, prinsip musyawarah ditegaskan dalam QS. Ali Imran: 159 dan QS. Asy-Syura: 38. Di sini kita melihat bahwa partisipasi publik adalah pilar utama dalam sistem politik Islam.

Membangun Politik Islam di Era Modern

Bagaimana prinsip-prinsip Nabi ini dapat diterapkan dalam konteks saat ini? Jawabannya: dengan kontekstualisasi yang cerdas, bukan terjebak simbolik. Politik Nabi memiliki prinsip penting sebagai berikut;

Pertama, penghargaan terhadap keberagaman dalam kesetaraan. Konsitusi Madinah dibangun atas jaminan keamanan dan persamaan hak warga negaranya.

Kedua, penegakan hukum yang adil adalah mutlak. Hukum tidak boleh tebang pilih dan harus melindungi semua warga tanpa diskriminasi.

Ketiga, sistem syura bisa diaktualisasikan melalui mekanisme demokrasi modern. Demokrasi tidak bertentangan dengan Islam selama nilai-nilainya selaras dengan maqâshid syarî’ah—tujuan syariat seperti keadilan, kemaslahatan, dan kebebasan berpendapat. Pemilu yang bersih, keterwakilan rakyat, dan kebebasan sipil adalah wujud syura zaman ini.

Keempat, pemberantasan korupsi dan kemiskinan harus menjadi prioritas. Dalam sejarah Nabi, pengelolaan zakat dan harta publik dilakukan secara transparan dan bertujuan mengangkat derajat kaum dhuafa. Politik Islam tidak hanya bicara kekuasaan, tetapi juga soal distribution of wealth yang adil.

Kelima, prinsip akhlak di atas kepentingan politik. Apa yang paling membedakan politik Nabi dengan praktik politik hari ini adalah akar moral dan akidah. Politik Islam tidak sekadar mengejar kekuasaan, tapi bermuara pada nilai tauhid: bahwa setiap kebijakan dan tindakan politik harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Oleh karena itu, politisasi agama untuk kepentingan sempit adalah bentuk penyimpangan dari nilai-nilai kenabian.

Nabi tidak meninggalkan satu sistem baku seperti monarki, kesultanan, atau republic secara tekstual. Yang beliau wariskan adalah prinsip-prinsip universal: keadilan, amanah, musyawarah, dan perlindungan terhadap hak rakyat. Sistem politik apa pun yang mampu mewujudkan prinsip-prinsip ini—baik demokrasi, monarki konstitusional, atau sistem hybrid—dapat dikatakan islami secara esensial.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Dr Emrus Sihombing MSi

Puji Langkah BGN Respon Kritik, Pengamat: Perkuat Implementasi di Lapangan

Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) dinilai menunjukkan sikap terbuka dalam menjalankan Program Makan Bergizi …

banjir

Teologi Lingkungan dalam Islam: Membaca Bencana Sumatera sebagai Peringatan dan Pelajaran

Gelombang bencana yang melanda Sumatera dalam beberapa waktu terakhir—banjir bandang di Padang, longsor di Sibolga, …