Salam bisa bermakna dua yang mengandung bentuk doa dan etika kesopanan.
Sempat beredar berita menghebohkan Salam Pancasila gantikan Assalamu’alikum dari Kepala BPIP. Berita ini pun mendapat kecaman dari berbagai pihak. MS. Kaban, Mantan Ketua Majelis Syuro PBB, menilai Yudian Wahyudi melampaui batasannya. Hingga ia lantang berteriak “Bubarkan BPIP!”
Memang pihak tempo telah menelusuri ketidakbenaran berita ini. Berita ini lebih pada framing bahkan salah tafsir atas hasil wawancara. Artinya, ada naskah wawancara yang digiring pada konten berita yang menghebohkan.
Lepas dari persoalan disinformasi tersebut, namun penting ditegaskan bahwa Assalamu’alaikum dalam réligiositas Muslim adalah dogma. Tidak boleh diusik olek suatu kepentingan apapun.
Salam, secara esensial merupakan rangkaian kalimat doa dan harapan untuk mendapatkan keselamatan. Salam juga dapat berguna untuk menyemai kebaikan dan menebar kedamaian serta meraih kebahagiaan, dapat pula menjadi wahana kesejahteraan yang berkemajuan. Tak heran, bila Rasulullah mengkategorikan salam sebagai morfem bahkan sebagai konkretisasi ajaran Islam yang terbaik. Lihat HR: Bukhari:12.
Persoalannya dalam negara yang multikultur ini dalam acara-acara besar, umat Islam sering mengucapkan salam tanpa mengetahui identitas audiensnya apakah dia muslim atau non-muslim. Lalu pilihannya apa? Mengucapkan Assalamu’alaikum atau pilihan lain?
Sebagai dogma, salam memiliki aturan yang baku dari agama. Termasuk kepada siapa salam itu diucapkan?
Bolehkah menjawab salam non Muslim?
Rasulullah bersabda :
حدثنا أنس بن مالك رضي الله عنه ، قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” إذا سلم عليكم أهل الكتاب فقولوا : وعليكم
Anas Ibn Malik menceritakan kepada kami seraya berkata: Nabi Muhammad saw. Bersabda: bila Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani, non Muslim) mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah wa a’alaikum. HR: Bukhari: 5912
Menurut al-Mawardi, Hadits ini, Ibarah teksnya, menunjukkan hukum wujub (wajib) untuk menjawab salam dari non Muslim, hanya saja, redaksi jawaban salamnya adalah wa’alaikum, wa’alaikassalam atau wa’alaika saja. Tidak boleh ditambah warahmatullahi. Apalagi dilanjutkan wabarakatuhu. Alasannya al-Mawardi, karena ada kemungkinan salam non Muslim itu hanya ditujukan untuk melecehkan, mengolok olok, atau bahkan mendoakan jelek. Al-Hawi al-Kabir, 14/319.
Lalu bagimana bila Muslim memulai salam kepada non Muslim? Bolehkah?!
Menurut al-Mawardi, Muslim boleh awali salam kepada non Muslim, karena bagi al-Mawardi, salam adalah salah satu bentuk kesopanan (adab) yang selayaknya Muslim lebih berhak mendapatkannya dari pada lainnya. Namun, cara memulai salam kepada non Muslim dengan redaksi assalamualaika. Tidak boleh assalamualaikum. Agar ada pembeda salam kepada sesama muslim dan kepada non muslim. Al-Hawi al-Kabir, 14/319.
Sejatinya, mengucapkan salam bisa bermakna dua. Salam kepada sesama muslim sebagai bentuk doa dan etika kesopanan. Salam menjadi penting dalam merekatkan persaudaraan baik seagama maupun sebangsa.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah