Baru-baru ini, sebuah penelitian internasional yang dikutip oleh Food.detik.com, mengungkap daftar 100 makanan paling bergizi di dunia. Menariknya, lemak babi berada di peringkat ke-8 dengan skor gizi 74, disebut mengandung asam lemak tak jenuh tunggal yang baik untuk jantung, bahkan lebih sehat dibandingkan mentega dan lemak sapi.
Sebagian orang, terutama muslim, mungkin tergoda untuk bertanya: Jika babi ternyata bergizi dan tidak berbahaya, mengapa Islam tetap mengharamkannya?
Pertanyaan ini tampak sederhana, namun sesungguhnya menyentuh akar dari hubungan antara iman, ilmu, dan ketaatan.
Larangan yang Berdiri di Atas Wahyu, Bukan Selera atau Data
Dalam Islam, halal dan haram tidak ditentukan oleh rasa, selera, atau data ilmiah semata. Ia berdiri di atas wahyu — perintah dan larangan yang datang dari Allah SWT, Zat yang Maha Mengetahui hakikat ciptaan-Nya.
Larangan soal babi dalam Islam, bukan semata persoalan kesehatan, tetapi soal ketaatan dan kebersihan spiritual. Ajaran Islam jelas bukan panduan kesehatan, tetapi ia sangat mengutamakan Kesehatan secara lebih esensial.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih bukan karena Allah.” (QS. An-Nahl [16]:115). Larangan yang sama juga diulang dalam QS. Al-Baqarah [2]:173 dan Al-Maidah [5]:3 .
Pengulangan hukum haram ini membuktikan ketegasan dan konsistensi Islam dalam mengharamkan babi. Pengharaman babi bersifat prinsipil (qath’i), tidak berubah meski ilmu pengetahuan berkembang.
Rasulullah SAW juga bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, babi, dan berhala.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, pengharaman babi bukan karena manusia memahami bahayanya, tetapi karena Allah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui manusia. Inilah esensi ketaatan: tunduk kepada perintah-Nya, bahkan ketika akal tidak menemukan alasan yang memuaskan.
Tidak Semua yang Bergizi Itu Baik Secara Spiritual
Pandangan Islam menempatkan gizi dan kesehatan sebagai bagian penting dari kehidupan, namun bukan satu-satunya ukuran kebaikan. Kesehatan fisik tanpa kebersihan spiritual justru menimbulkan ketimpangan batin.
Babi, dalam syariat, digolongkan sebagai hewan yang najis. Seluruh bagiannya — daging, lemak, bahkan kulitnya — haram digunakan untuk konsumsi atau keperluan lain. Pengharaman ini tidak hanya terkait aspek medis, tetapi juga aspek moral dan etika.
Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menegaskan bahwa larangan memakan babi adalah bentuk ujian ketaatan bagi manusia. Allah menguji apakah manusia mau tunduk kepada aturan-Nya meski sesuatu tampak baik menurut ukuran duniawi.
Dengan kata lain, larangan babi adalah pelajaran spiritual: bahwa kebaikan sejati tidak selalu tampak lezat di lidah atau indah di mata, tetapi bersih di sisi Allah.
Ilmu Boleh Maju, Tapi Etika Wahyu Tetap Menuntun
Islam tidak menolak sains, tetapi memberi kerangka moral bagi penggunaannya. Sains bisa mengungkap kandungan gizi, tetapi tidak berwenang mengubah hukum Allah.
Dalam banyak kasus, sejarah membuktikan bahwa hal-hal yang dulu dianggap aman secara ilmiah, di kemudian hari terbukti membahayakan. Larangan babi, di sisi lain, telah terbukti mengandung hikmah medis: babi diketahui dapat menjadi inang bagi parasit Trichinella spiralis dan berbagai virus zoonosis yang menular ke manusia.
Namun, hikmah medis itu hanyalah sebagian kecil dari alasan ilahiah. Karena pada hakikatnya, manusia beribadah bukan untuk mengetahui sebab, tetapi untuk menunjukkan taat.
Larangan Allah bukanlah bentuk pengekangan, melainkan perlindungan. Allah tidak melarang untuk menyulitkan, tetapi untuk menjaga manusia dari bahaya yang tampak dan yang tersembunyi.
“…dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
(QS. Al-Baqarah [2]:168)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa manusia sering kali tergoda untuk membenarkan sesuatu yang tampak baik secara lahiriah, padahal secara batin bisa menjauhkan dari nilai-nilai kesucian dan ketaatan.
Mungkin secara ilmiah, lemak babi mengandung zat bermanfaat. Namun dalam pandangan Islam, tidak semua yang menyehatkan tubuh menyehatkan jiwa. Kesehatan sejati adalah keseimbangan antara tubuh, akal, dan hati yang tunduk kepada aturan Allah.
Dalam Islam, halal bukan sekadar soal gizi, tetapi soal izin dari Yang Maha Pencipta. Dan dalam setiap larangan, selalu tersimpan kasih sayang-Nya bagi manusia yang mau percaya sebelum melihat, dan taat sebelum memahami.