Baitul Maqdis memiliki posisi penting bagi umat Islam. Sekian banyaknya syiar-syiar Islam telah Allah lekatkan dengan kota ini. Ia merupakan kiblat pertama yang Allah tetapkan untuk umat ini. Tempat mulia ini merupakan tempat yang dituju Rasulullah saw saat perjalanan Isra dan Mi’raj. Kota ini merupakan kota suci ketiga bagi umat Muhammad saw. Tanah sejarah ini merupakan tanah para nabi dan rasul yang Allah penuhi dengan keberkahan. Kawasan ini merupakan kawasan jihad dan ribath hingga akhir zaman nanti.
Perjuangan umat Islam dalam membebaskan kawasan Baitul Maqdis telah dilakukan sejak zaman Rasulullah saw. Prof. dr. Abdul Fatah al-Awaisi, peneliti dari Univ. Sabahattin Zaim, Istambul, Turki, yang konsen dalam kajian Islamic Jerusalem, menyimpulkan bahwa Rasulullah saw mengawali langkah-langkah strategis pembebasan dengan menanamkan ilmu dan keimanan kepada para sahabat.
Perjuangan pembebasan Baitul Maqdis merupakan salah-satu permasalahan umat Islam yang selalu dibahas hingga saat ini. Keutamaannya telah Allah Ta`ala tunjukkan diantaranya bahwa masjid al-Aqsha yang menjadi pusat utama dikawasan Baitul Maqdis, merupakan pusat keberkahan umat Islam sebagaimana disampaikan dalam surat al-Isra ayat pertama. Bahkan al-Awaisi menyatakan bahwa keadaanya seakan seperti cermin bagi umat Islam, kuat ataukah lemah, berdiri tegak menebarkan keadilan Islam, ataukah tunduk terjajah.
Baitul Maqdis Dalam Al-Qur’an
Sekian banyak surat-surat dalam alqur’an telah menyinggug Baitul Maqdis. Penyebutan daerah mulia ini tersampaikan dalam berbagai bentuk penyebutan, baik secara lugas seperti dalam surat al-Isra ayat pertama (al-Masjid al-Aqsha), ataupun dengan kata lainnya dengan maksud daerah itu, seperti al-ardh al-Muqadasah (daerah yang suci) dalam surat al-Maidah ayat 21, dengan kata al-Ardh allati barakna (daerah yang Kami berkahi), bahkan dengan menyebutkan buah-buahan yang khas atau identik dengan Baitul Maqdis, seperti dalam surat at-Tin, dan beberapa penyebutan lainnya.
Sekian surat, atau bahkan sebagian besar surat al-Qur’an memiliki keterkaitan secara langsung dengan kawasan Baitul Maqdis, sebagai tempat kejadian dari sekian banyak kisah-kisah nabi dan rasul yang Allah Ta`ala sebutkan dalam al-Qur`an; Tanah suci itu merupakan tujuan perjalanan Musa as membawa Bani Israil dari Mesir, kejayaan Bani Israil saat dipimpin oleh nabi Dawud as. dan nabi Sulaiman as, Tempat dimana nabi Zakariya as mengasuh Maryam ibunda nabi Isa as.; Tempat kejadian kisah kaum nabi Luth as, Kaum Tsamud, juga tempat peperangan antara Romawi dan Persia yang disebutkan dalam surat ar-Rum dalam al-Qur`an.
Dari sekian banyak ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan kajian Baitul Maqdis, pembahasan tentang pembebasan Baitul Maqdis dalam al-Quran dapat kita temukan dalam kisah Bani Israil setelah keluar dari negeri Mesir, yang dipimpim oleh nabi Musa as. Dengan menyebrangi lautan, menuju dataran Sinai. Kisah ini disebutkan dalam beberapa surat yang saling melengkapi antara satu penggalan kisah dalam satu surat al-Qur`an dengan penggalan lain dalam surat lainnya. Penggalan-penggalan kisah tersebut ada dalam surat al-Baqarah 58- 59, al-Baqarah ayat 246-252, al-Maidah ayat 21-26, dan surat al-a’raf ayat 137.
Perintah Pembebasan Baitul Maqdis
Telaah atas pemikiran Hamka dalam tafsir al-Azhar tentang pembebesan Baitul Maqdis ini kami awali dengan pembahasan awal kalimat surat al-Baqarah 58:
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis).
Dalam menerangkan perintah Allah kepada Bani Israil diatas, Hamka menyebutkan: “Setelah mereka dikeluarkan dari tempat perhambaan di Mesir itu dan dijanjikan kepada mereka tanah-tanah pusaka nenek moyang mereka, yaitu bumi Kanaan atau tanah-tanah mesopotamia yang sekarang ini: palesɵ nasekeliling Sungai Yordania. Tetapi masuk ke sana itu tidaklah secara melenggang saja, melainkan dengan perjuangan”. Perintah tersebut akan lebih jelas maknanya jika kita sandingkan dengan kisah yang sama dalam surat Al-Maidah ayat 21.
Hamka mendahului pembahasan kisah ini dengan kisah perjalanan Bani Israil yang telah mendapatkan karunia dari Allah, keluar dari Mesir dengan menyebrangi lautan Qulzum dengan mukjizat Musa as, terbelahnya lautan. Karunia mendapatkan makanan dan keamanan setelah sekian lama diperbudak oleh Fir’aun. Karunia Allah berupa nabi-nabi dan rasul yang hidup ditengah-tengah mereka, dan sekian karunia yang lainnya. Selanjutnya Allah Ta`ala memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Baitul Maqdis, dan Allah pun menjanjikan kemenangan bagi mereka.
يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”
Menurut Hamka, janji Allah atas Bani Israil yang saat itu dipimpim oleh Musa as, bukan janji kemenangan yang akan mereka raih dengan begitu saja tanpa adanya sebuah perjuangan. Ia menyatakan: “Sekarang telah terseberang, mereka diajak kemari datang ke tanah itu, masuklah ke dalam dan serbulah negeri itu, supaya tanah yang telah dijanjikan 400 tahun yang lalu itu dapat kamu duduki. Karena akan masuk saja sebagai lenggang itik pulang petang ke tanah yang dikuasai orang lain, tidaklah bisa. Meski dengan perjuangan! Maju terus, jangan mundur, jangan membalik punggung, artinya lari. “karena dengan begitu (yaitu kalau kamu lari), kembalilah kamu dalam keadaan orang yang rugi” (ujung ayat 21)”
Dalam pembahasan ayat tersebut, Hamka memberikan catatan akan pentingnya sebuah usaha. Meskipun Allah Ta`ala telah menjanjikan kemenagan, sebagaimana janji-Nya kepada para nabi dan rasul, sebuah gerakan untuk mewujudkan janji Allah itu haruslah tetap diperjuangkan. Perjuangan ini memerlukan jiwa-jiwa pemberani yang memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hamka menceritakan bahwa Bani Israil saat itu menolak perintah Allah tersebut. Mental pengecut dan mental budak yang telah melekat pada umumnya umat Bani Israil saat itu telah menghalangi jiwa-jiwa kesatria yang ada pada sebagian umat. Hal ini berakibat kerugian besar bagi mereka, dengan mendapatkan hukuman dari Allah tertahan di padang Tih selama 40 tahun berikutnya. Mereka hidup dalam kesengsaraan, dan tidak mampu untuk memasuki kota Suci Baitul Maqdis. Keadaan ini berlanjut hingga Allah taqdirkan lahirnya generasi baru yang telah terputus hubungan dengan karakter-karakter budak.
Relevansi Perintah Pembebasan Baitul Maqdis dengan Umat Islam
Hamka menjelaskan bahwa perintah Allah kepada Bani Israil bahkan berisi aturan-aturan umum dan akhlaq yang semestinya dilakukan saat memasuki Baitul Maqdis apabila mereka menang nanti. Namun ketegasan Musa as dalam meyakinkan janji Allah atas Bani Israil ini mereka tolak. Hal ini dapat kita telaah dalam penafsiran Hamka atas surat al-Baqarah 58 secara lebih lengkap:
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ ۚ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Hamka menafsirkan ayat ini dengan: “Kepada mereka diberikan perintah bagaimana cara menaklukan sebuah negeri, hasil bumi negeri itu boleh dimakan, sebab sudah menjadi hak mereka. Dan ketika masuk ke dalam negeri itu, hendaklah dengan budi yang baik, dengan sikap yang tunduk, jangan menyombong, jangan membangkitkan sakit hati pada orang lain, dan bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya dan kemenangan yang telah diberikan-Nya, danucapkanlah perkataan yang mengandung semangat mohon ampun kepada Ilahi”.
Saat menelaah penafsiran Hamka dalam beberapa ayat diatas, didapatkan bahwa Hamka mengajak umat Islam untuk merasakan bahwa perintah dan aturan-aturan Allah kepada Bani Israil untuk memasuki Baitul Maqdis adalah perintah untuk siapapun umat yang beriman. Hamka juga menyatakan bahwa aturan-aturan dalam perintah ini semestinya menjadi inspirasi bagi setiap muslim dalam penaklukan sebuah kota atau daerah. Sebagai contohnya, ia menegaskan bahwa akhlaq yang Allah perintahkan kepada Bani Israil apabila mereka bisa memasuki kota Baitul Maqdis itu, justru telah dilaksanakah oleh Rasulullah saw saat memasuki kota Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah.
Penafsiran dan penjelasan Hamka diatas memberikan gambaran, bahwa perintah Allah kepada Bani Israil melalui Rasul-Nya, Musa as, merupakan bagian dari sejarah masa lalu orang-orang pengikut para nabi dan rasul Allah. Jika kita mendapatkan ketaatan maka itu merupakan contoh dan suri tauladan, dan jika kita mendapatkan hal yang sebaliknya maka hal itu merupakan peringatan agar tidak terulang. Hal ini secara lugas dapat dibaca dalam penafsiran tafsir al-Azhar surat al-A’raf ayat 137:
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۖ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَىٰ عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا ۖ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.”
Di antara bahasan Hamka mengenai ayat diatas adalah: “Di samping itu, haruslah pula kita ingat bahwasanya sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini terus berjalan. Memang satu waktu Bani Israil telah menguasai negeri itu dan mendirikan kerajaan besar disana, tetapi beratus tahun sesudah Musa, bangsa lain telah menguasai negeri itu pula ganti-berganti, sejak bangsa Balil, Persia (Iran), kemudian Yunani, sesudah itu bangsa Romawi, sampai datang kebesaran Islam, dan takhluklah kepada bangsa Arab, sejak zaman Umar bin Khathab menjadi Khalifah. Dan tetaplah negeri itu menjadi tanah airnya bangsa Arab 1300 tahun lamanya. Tetapi dengan bantuan kerajaan-kerajaan Barat, terutama Inggris dan Amerika telah merampas negeri itu dari tangan bangsa Arab, mengusir habis satu juta orang Arab dari sana, dengan alasan bahwa 2500 tahun yang lalu nenek moyang merekalah yang empunya negeri itu”
“Maka ayat-ayat yang berkenaan dengan kemerdekaan Bani Israil di dalam al-Qur’an ini tetaplah menjadi pengajaran bagi kaum muslimin seluruh dunia untuk merebut kemerdekaan mereka kembali, dengan tidak mempedulikan betapa pun besarnya kekuasaan bangsa yang menjajah dan menindas, sebab bumi ini adalah kepunyaan Allah, diwariskanNya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hambaNya, dan akibat atau kemenangan terakhir tetaplah untuk orang yang bertakwa”.
Penjelasan Hamka atas ayat 137 surat al-A’raf diatas sangatlah jelas bahwa ia memandang bahwa Baitul Maqdis yang diberkahi ini bukanlah tanah yang dijanjikan untuk Bani Israil semata. Tanah Suci nan mulia ini adalah tanah yang semestinya dikuasai dan dimakmurkan oleh umat Islam yang beriman, apapun bangsa dan ras keturunan mereka.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah