wanita karir
wanita karir

Begini Etika Perempuan yang Mau Keluar Rumah Menurut Islam

Waktu terus bergerak membuat dinamika zaman, budaya dan peradaban yang semakin maju itu telah membawa begitu banyak perubahan dalam segala sisi, di antaranya yakni hokum dan moralitas. Salah satu fenomena yang menyangkut itu adalah telah terbongkarnya tembok pembatas ruang gerak kaum perempuan.

Seiring berjalannya waktu, fenomena perubahan seperti itu melahirkan banyak penilaian dan pemikiran baru, misalnya tentang konsep emansipasi perempuan. Hal tersebut didasari dengan banyak dari golongan kaum hawa di zaman modern ini yang mengembangkan potensi dirinya yang akhirnya bisa mengisi posisi strategis dalam semua sektor kehidupan.

Sejalan dengan itu, aktivitas di luar rumah menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dihindari saat ini. Contohnya seperti perempuan bekerja ke kantor, belajar di sekolah atau kampus maupun aktifitas belanja dan sebagainya.

Tentunya dapat dipastikan melihat realita zaman yang semacam itu akan secara pasti memberikan polemik dan asumsi yang beragam di kalangan masyarakat. Hukum agama sebagai etika tentu sangat berperan penting dan harus selalu dijadikan rujukan dalam bertindak. Maka secara langsung, polemik ini akan diseret dalam ranah dialog hukum syariat Islam (Fikih).

Pada dasarnya tak ada syariat yang secara mutlak melarang dan mempersempit ruang gerak kaum perempuan untuk berinteraksi dan beraktivitas di dunia luar. Cuma saja, hukum dan norma agama yang beredar itu sangat berhati-hati untuk mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan.

Hal demikian merupakan bentuk upaya antisipatif agama Islam terhadap fitnah dari interaksi dan pergaulan kaum hawa apabila tidak diatur secara mapan dalam syariat. Ini juga menandakan Islam sebagai agama yang senantiasa memuliakan dan melindungi kaum perempuan. Salah jika dipandang sebaliknya.

Maka dari itu, dengan tetap memegang teguh prinsip kemaslahatan, syariat memberi kelonggaran bagi perempuan untuk beraktivitas di luar rumah. Namun dengan catatan, mereka diharuskan mampu menjaga dari hal-hal yang diharamkan. Catatan itu sesuai dengan salah satu keterangan dalam kitab Adabu Hayat az-Zaujiyyah, halaman 163 mengatakan:

لَيْسَ فِي الْاِسْلَامِ مَا يَمْنَعُ الْمَرْأَةَ اَنْ تَكُوْنَ تَاجِرَةً اَوْ طَبِيْـبَةً اَوْ مُدَرِّسَةً اَوْ مُحْتَرِفَةً لِأَيِّ حِرْفَةٍ تَكْسِبُ مِنْهَا الرِّزْقَ الْحَلَالَ مَا دَامَتِ الضَّرُوْرَةُ تَدْعُوْ اِلَى ذَلِكَ وَما دَامَتْ تَـخْتَارُ لِنَفْسِهَا الْاَوْسَطَ الْفَاضِلَةَ وَتَلْتَزِمُ خَصَائِصَ الْعِفَّةِ اهـ

“Di dalam Islam tidak ada larangan yang mencegah wanita untuk menjadi usahawan, dokter, guru atau menjadi pekerja di profesi apapun yang ditujukan mencari rezeki yang halal, selama ada unsur darurat yang menuntutnya seperti itu, dan selama ia sanggup menerima persyaratan iffah (menjaga diri dari hal-hal yang haram)”.

Etika Perempuan dan Lingkungannya

Syekh Muhammad bin Salim dalam kitabnya, Is’adur Rofiq, menjelaskan beberapa etika bagi perempuan yang mau keluar rumah untuk aktivitas

وَمِنْهَاخُرُوْجُ الْمَرْأَةِ مِنْ بَيْتِهَا مُتَعَطِّرَةً اَوْ مُتَزَيِّنَةً وَلَوْ كَانَتْ مَسْتُوْرَةً وَكَانَ خُرُوْجُهَا بِاِذْنِ زَوْجِهَا اِذَا كَانَتْ تَمُرُّ فِيْ طَرْيِقِهَا عَلَى رِجَالٍ اَجَانِبَ –الى ان قال- قَالَ فِي الزَّوَاجِرِ وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ الْحَدِيْثِ وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ قَوَاعِدَنَا عَلَى مَا اِذَا تَحَقَّقَتِ الْفِتْنَةُ اَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ وَعُدَّ مِنَ الْكَبَائِرِ اَيْضًا خُرُوْجُهَا بِغَيْرِ اِذْنِ زَوْجِهَا وَرِضَاهُ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ شَرْعِيَّةٍ

“Diantara maksiat tubuh ialah jika perempuan keluar dari rumahnya dengan cara menyemprotkan wewangian atau berhias betapapun seluruh tubuhnya tertutup rapi. Dan keluar rumah atas izin suaminya namun ternyata ia melewati jalan yang dipenuhi para lelaki yang bukan mahramnya. Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya, az-Zawajir: Hal ini adalah bagian dari dosa besar karena sudah dinyatakan secara jelas dalam hadist. Dan selayaknya hadist ini diarahkan (agar dapat selaras dengan kaidah kita) pada problematika yang mana fitnah bisa terjadi secara pasti. Jikalau hanya sebatas kekhawatiran akan terjadinya fitnah saja maka masuk dalam hukum makruh. Adapun bila ada dugaan kuat akan terjadi fitnah maka hukumnya adalah haram. Tetapi tidak mencapai taraf dosa besar. Termasuk dalam kategori dosa besar manakala keluarnya wanita tidak dengan seizin dan restu dari suaminya tanpa ada faktor darurat secara syariat”.

Sekilas, penjelasan di atas memberikan kesimpulam bahwa aktivitas perempuan di luar rumah dinilai sebagai tindakan yang maksiat yang berujung kepada dosa besar. Namun yang perlu digarisbawahi yakni dihukumi maksiat itu jika ternyata aktivitas di luar rumah dilakukan sebab melanggar garis aturan yang telah ditetapkan syariat.

Begitu juga sebaliknya, aktivitas perempuan di luar rumah akan memperoleh legalitas jikalau dilakukan dengan tetap memegang erat prinsip syariat, baik dari segi tingkah laku, cara berpakaian, tujuan keluar rumah, dan mempertimbangkan maslahat dan madharat yang ditimbulkan.

Etika-etika perempuan di atas dapat digambarkan seperti hal-hal berikut ini:

1.Melaksanakan aktivitas di luar rumah hanya berdasarkan keperluan (hajat)

2.Memperoleh izin dari suami atau mahramnya

3.Menutup aurat, tidak berpakaian ketat atau menyerupai gaya laki-laki;

4.Menghindari bercampur dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya;

5. Menjamin aman dari fitnah.

Meskipun demikian adanya, bukan berarti fitnah yang disebabkan dari interaksi pergaulan selalu bersumber dari kaum hawa. Di sisi yang lain, golongan laki-laki juga memiliki kewajiban untuk selalu menjaga pandangan mereka, terlebih lagi dari perkara-perkara yang sangat jelas keharamannya. Hal tersebut tertulis dalam kitab Al-fatawi al-Fiqhiyah al-Kubro, I/121-122.

Dalam hal ini, senada dengan hadis Rasulullah Saw yang ada dalam kitab Shahih Bukhari III/312:

فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Berikanlah hak-hak di jalanan. Para sahabat bertanya: Apakah hak di jalanan itu?. Rasulullah Saw menjawab: (Yaitu) menundukkan pandangan, menghilangkan perilaku untuk menyakiti, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran”. Wa Allahu a’lam.

Bagikan Artikel ini:

About M. Alfiyan Dzulfikar

Check Also

ilustrasi masjid tempat ibadah umat

Bersemangatlah dalam Beribadah (2): Cara Menghindari Kemalasan

Dalam tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan betapa Allah SWT menganugerahkan kemurahan dan kemudahan kepada kita untuk …

ibadah

Bersemangatlah Dalam Beribadah (1): Tiada Kesukaran dalam Agama

Allah memerintahkan kita beribadah, pastilah itu bermanfaat dan baik untuk kita sendiri. Tak mungkin ada …