Ada pernyataan imam Malik bin Anas ra yang sangat masyhur, yaitu:
مَنْ اِبْتَدَعَ فِي الْإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ محَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِسَّالَةَ
Artinya: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam dengan bid’ah yang ia anggap sebagai perbuatan baik, maka sungguh-sungguh orang tersebut telah menduga Nabi Muhammad saw berkhianat dalam menyampaikan risalah”
Pernyataan Imam Malik ra ini terdapat dalam kitab al I’tisham karya imam As Syatibi yang diperoleh dari Ibn Majisyun, salah satu murid imam Malik ra. Pernyataan ini tidak banyak ditemukan di dalam kitab-kitab Malikiyah. Justru pernyataan tersebut banyak dalam kitab-kitab Wahhabi. Namun demikian tetap saja, rujukan utamanya adalah kitab al I’tisham.
Atsar imam Malik ra tersebut dijadikan senjata oleh Wahhabi untuk membantah Ahlussunnah wal Jama’ah yang membagi bid’ah kepada Madzmumah dan Hasanah. Benarkah pernyataan tersebut menolak bid’ah hasanah ?
Menjawab persoalan tersebut, maka perlu merujuk kepada fatwa-fatwa ulama’ Malikiyah sendiri, karena mereka yang lebih paham, tentunya, terhadap fatwa-fatwa imam Malik ra dari pada ulama’ dari madzhab lain.
Pertama, Syaikh Ahmad bin Yahya al Wansyarisi dalam kitab al Mi’yarul Mu’rob berkata:
وَأَصْحَابُنَا وَإِنِ اتَّفَقُوْا عَلَى إِنْكَارِ اْلبِدَعِ فِي اْلجُمْلَةِ فَالتَّحْقِيْقُ اَلْحَقُّ عِنْدَهُمْ أَنَّهَا خَمْسَةُ أَقْسَامٍ
Artinya: “Ashab kami (Malikiyah) dan sekalipun mereka sepakat mengingkari bid’ah secara keseluruhan, maka yang benar menurut mereka bid’ah itu ada lima macam”
Pernyataan Ahmad bin Yahya al Wansyarisi ini menunjukkan bahwa dalam madzhab Maliki semuanya sepakat bahwa tidak semua bid’ah tercela. Menurut mereka, bid’ah terbagi menjadi lima bagian. Kelima tersebut yaitu: bid’ah wajibah, bid’ah mandubah, bid’ah mubahah, bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah.
Kedua, Ahmad bin Muhammad as Showy dalam kitab Hasyiyah as Showy ketika menjelaskan tentang membaca shalawat setelah adzan, ia mengatakan ini bid’ah hasanah. Karena pertama kali tradisi ini ada ketika masa khalifah Shalahuddin Yusuf bin Ayyub sekitar tahun tahun 721 Hijriyah.
Dalam kitab tersebut, As Showy secara terang-terangan mengatakan adanya bid’ah hasanah.
Ketiga, keterangan dari Fatimah putri Malik bin Anas ra yang kutip oleh Qadi Iyad dalam kitabnya Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik bahwa imam Malik ra melakukan shalat tiap-tiap malam dalam separuh malam, sementara ketika malam Jum’at ia melakukan shalat sepanjang malam.
يُصَلِّي كُلَّ لَيْلَةٍ حِزْبَهُ فَإِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَحْيَاهَا كُلَّهَا
Artinya: “Imam Malik ra melakukan shalat tiap-tiap malam pada sebagiannya, dan apabila malam Jum’at, ia menghidupkan malam tersebut sepanjang malam”
Apa yang dilakukan imam Malik ra sebagaimana kisah Fatimah tersebut tentu tidak akan pernah ditemukan dalil khusus yang menjelaskan tentangnya. Seandainya imam Malik ra benar-benar menolak bid’ah hasanah, tentu imam Malik ra telah melanggar fatwanya sendiri. Hal ini tentu tidak mungkin akan dilakukan oleh seorang mujtahid sekelas imam Malik ra.
Lalu apa yang dimaksud pernyataan imam Malik bin Anas ra orang yang menganggap baik terhadap bid’ah maka ia menganggap Rasulullah saw berkhianat ?
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama’-ulama’ Malikiyah, bahwa imam Malik ra termasuk sosok ulama’ yang menolak keras perbuatan bid’ah. Oleh karena itu, maksud “bid’ah yang dianggap baik” adalah bid’ah secara syar’i, dimana perbuatan ini betul-betul bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam (al Qur’an atau al Sunnah). Atau merupakan ibadah yang sama sekali tidak terdapat dalilnya baik secara khusus atau pun umum. Adapun amaliyah-amaliyah ibadah yang secara khusus tidak ada dalilnya tetapi secara umum ada dan jelas, maka yang demikian tidak tergolong perbuatan bid’ah yang haram. Sebagaimana yang dilakukan oleh imam Malik ra di atas.
Dari hal ini maka kita mengetahui bahwa imam Malik ra tidak menolak bid’ah hasanah. Yang ditolak oleh imam Malik ra adalah bid’ah syar’i, berupa amaliyah-amaliyah ibadah yang tidak ada sumber dalilnya baik secara khusus atau pun umum.
Wallahu a’lam