obat najis
obat najis

Bolehkah Berobat dengan Benda Najis atau Haram

Dalam beberapa hadis Nabi mengatakan hanya satu penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu tua. Sifat seseorang menjadi tua sebenarnya bukanlah penyakit. Namun gejala alamiah yang pasti dialami oleh semua manusia.

Penyebutan Nabi ini tak lebih sebagai penegasan bahwa sesungguhnya tidak ada satu penyakit pun yang diturunkan Allah yang tidak ada obatnya. Hanya keterbatasan pengetahuan manusia yang terkadang belum bisa menemukan obat dari suatu penyakit. Seperti Virus Corona sebagai penyakit baru yang belum ditemukan obatnya. Dan hanya ditemukan pencegahannya berupa Vaksin.

Sebagai orang beriman, semestinya yakin kepada sabda Nabi bahwa semua penyakit pasti ada obatnya. Entah obat itu statusnya halal atau haram. Yang jelas pasti ada obatnya.

Apabila status obat tersebut halal tentu tidak ada soal yang perlu dibahas dan dibicarakan. Bisa langsung dikonsumsi. Yang menjadi problem bagi umat Islam adalah bilamana obat tersebut statusnya najis atau haram. Apakah boleh dipakai atau tidak?

Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarh al Muhaddzab (juz 9. hlm. 55), boleh berobat dengan benda najis selain khamar, sekalipun obat tersebut semuanya dari benda najis. Dengan catatan ada rekomendasi dari dokter dan tidak ditemukan obat yang halal yang lebih ampuh.

Dalam fikih dikenal istilah “Ma Yaqumu Maqamahu“, yaitu boleh menggunakan obat walaupun statusnya haram bila obat tersebut merupakan satu-satunya alternatif. Artinya, kebolehan tersebut dalam kondisi belum dan tidak ditemukan obat yang halal atau tidak ada yang menandingi keampuhannya.

Siapa yang berhak menentukan obat haram atau najis tersebut sebagai satu-satunya obat paling mujarab?

Seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi, yang berhak menentukan adalah dokter ahli. Bahkan keterangan dalam kitab Hawasyi Al Syirwani Wa Ibni Qasyim Al Ubbadi ‘ala Syarhi ala Tuhfatil Minhaj (juz 3, hlm. 183) menegaskan kebolehan untuk berpedoman kepada dokter non muslim.

Keterangan lebih lanjut ada dalam kitab Al Fiqhu’ala Madahib al Arba’ah (juz 1, hlm. 153), yang memperbolehkan berpedoman kepada rekomendasi dokter non muslim bila tidak ada dokter muslim yang ahli di bidang pengobatan.

Dengan demikian, boleh menggunakan obat yang statusnya najis atau haram selama tidak ditemukan obat yang halal dengan syarat harus ada rekomendasi dari dokter yang menyatakan bahwa obat tersebut memang satu-satunya alternatif.

Apakah Nabi pernah mempraktekkan hal ini?

Dr. Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu (juz 1, hlm. 161) menjelaskan, boleh menggunakan benda najis sebagai obat selama bila tidak ada obat yang suci yang mampu menandingi keampuhannya. Seperti ketika Nabi memberi perintah kepada masyarakat Uraniyin untuk meminum air kencing unta sebagai obat dari penyakit yang diderita.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …