mendamaikan

Dahsyatnya Ibadah Ini Mengalahkan Shalat, Puasa dan Sedekah, Apa Itu?

Berawal dari sebuah hadist “Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan di antara kamu. Karena rusaknya perdamaian di antara kamu adalah pencukur (perusak agama).” (HR. Abu Dawud no. 4919 dan Tirmidzi no. 2509; dinilai hasan).

Apa maksud dari hadist ini? Benarkah keutamaan itu berarti mengalahkan derajat ibadah shalat, puasa dan sedekah?

Tentu saja, hadist ini harus kita pahami dalam konteks yang lebih luas. Hadist ini tidak dalam rangka menafikan keutamaan puasa, shalat dan sedekah, tetapi menekankan pentingnya ibadah sosial yang berupa mendamaikan konflik. Islam menempatkan ibadah sosial ini sebagai pra syarat bagi terciptanya kondisi yang damai.

Jika dipahami hadist ini dengan alur logika yang benar, kita akan menemukan kata kunci yang cukup mencerdaskan. Bagaimana memahaminya?

Rasulullah menyebutkan proses resolusi konflik atau mendamaikan lebih utama dalam kriteria dampak sosialnya. Shalat, puasa dan sedekah sekalipun hanya berdampak pada individu yang terkait. Tetapi, mendamaikan memiliki dampak meluas.

Konflik dan permusuhan akan menyebabkan perpecahan umat dan rasa benci yang berkepanjangan sekaligu mengganggu tatanan sosial masyarakat. Jika perpecahan dan permusuhan itu terus berlangsung, ibadah seperti shalat, puasa dan sedekah akan kehilangan maknanya.

Orang shalat dan puasa, tetapi terlibat dalam kebencian dan permusuhan tidak akan merasakan nikmatnya pahala. Karena itulah Nabi mengatakan permusuhan itu mencukur agama, dalam pengertian mengikis nilai-nilai keimanan dan kebaikan.

Pemahaman yang kedua yang bisa kita ambil pelajaran adalah stabilitas sosial untuk sangat penting dalam pelaksanaan ibadah. Stabilitas sosial menjadi pra syarat terpenuhinya kewajiban seperti shalat, puasa dan lainnya.

Kita sebenarnya mempunyai pijakan sunnah yang jelas terkait keutamaan ibadah sosial perdamaian ini.

Dari Sahl bin Sa’d berkata, “Suatu ketika terjadi perselisihan di antara Bani ‘Amr bin ‘Auf, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi kepada mereka untuk mendamaikan mereka. Sementara waktu shalat pun tiba, namun Nabi belum kembali. Maka Bilal pun datang menemui Abu Bakar dan berkata, ‘Wahai Abu Bakar, Rasulullah tertahan (terlambat datang) karena mendamaikan mereka, apakah engkau bersedia mengimami shalat?’ Lalu Bilal mengumandangkan iqamah dan Abu Bakar maju mengimami shalat…” (HR. Bukhari, no. 684).

Apakah Rasulullah menafikan keutamaan shalat jamaah? Cara bacanya bukan tekstual seperti itu, tetapi memakai logika keutamaan ibadah sosial seperti dijelaskan sebelumnya. Mendamaikan mereka yang sedang bertika lebih didahulukan, tanpa menafikan keutamaan ibadah sunnah lainnya.

Masyarakat yang dipenuhi dengan permusuhan, pertikaian dan konflik akan mengalami kondisi ruang sosial yang tidak mendukung kewajiban agama. Karena itulah, dalam kaidah fikih ditarik formula menarik : mencegah keburukan harus didahulukan dari pada mencapai kebaikan (dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih).

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Delegasi AIMEP

AIMEP 2025: Jembatan Lintas Iman dan Budaya Australia-Indonesia

Jakarta – Persahabatan antarbangsa bukan hanya urusan diplomasi, melainkan juga amanah iman untuk saling mengenal …

Studium Generale di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ulama Saudi: Islam Itu Jalan Tengah, Bukan Kekerasan

Jakarta – Moderasi beragama bukan hanya ajaran Islam, tetapi juga fondasi kebangsaan Indonesia. Nilai wasathiyah …