puasa tasu'a dan asyura
muharram

Hukum dan Dahsyatnya Keutamaan Puasa Tasu’a dan Asyura

Bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender hijriah menyimpan banyak memori penting. Selain momentum hijrahnya Nabi yang begitu masyhur sebagai titik awal perkembangan gemilang agama Islam, pada bulan Muharram juga ada beberapa amaliah yang keutamaannya sangat dahsyat.

Ijma’ ulama berdasarkan dalil yang kuat menetapkan bulan Muharram sebagai salah satu bulan haram (asyhurul haram), yaitu bulan-bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah. Predikat kemuliaan tersebut menjadi sebab nempelnya keutamaan dalam bulan-bulan itu.

Termasuk di dalam bulan Muharram, ada beberapa keutamaan yang apabila dimanfaatkan oleh umat Islam akan memperoleh suatu keutamaan yang sangat besar. Di antaranya adalah puasa Muharram yang menurut sebagian ulama memiliki nilai keutamaan melebihi puasa sunnah bulan Sya’ban.

Salah satu yang mengatakan seperti ini adalah Imam Nawawi dalam kitabnya Syarhu Shahih Muslim bin al Hajjaj ketika mensyarahi hadis berikut:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim).

Hadis shahih ini, menurut Imam Nawawi, adalah dalil yang jelas (sharih) tentang keutamaan puasa pada bulan Muharram yang berada pada urutan kedua setelah puasa wajib di bulan Ramadhan. Pada mulanya Nabi memang lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban, namun hal itu bukan merupakan indikasi bahwa bulan Sya’ban lebih mulia dari bulan Muharram.

Lanjut Imam Nawawi, ada kemungkinan Nabi lebih sering berpuasa di bulan Sya’ban karena waktu itu beliau belum mendapatkan informasi tentang kemuliaan bulan Muharram, baru diberitahu disaat-saat akhir hidupnya. Kemungkinan kedua, beliau memang telah mengetahui dari awal namun tidak banyak berpuasa di bulan Muharram karena faktor-faktor tertentu. Seperti padatnya aktivitas sehingga tidak sempat puasa sunnah di bulan Muharram.

Imam al Qurthubi, seorang ulama pakar tafsir, hadis dan fikih menambahkan, puasa bulan Muharram menjadi utama karena bulan ini merupakan bulan pertama dalam kalender hijriah. Menyambutnya dengan puasa sangatlah pas karena puasa merupakan ibadah yang paling utama.

Sampai disini bisa dipahami, pada bulan Muharram sangat dianjurkan untuk berpuasa sunnah, sehari dua hari dan kalau bisa sebanyak-banyaknya. Dan yang lebih utama adalah pada sepuluh hari pertama, lebih khusus lagi pada tanggal sembilan bulan Muharram yang populer dengan sebutan puasa Tasu’a dan pada tanggal sepuluh yang disebut puasa ‘Asyura. Dua puasa ini sangat dianjurkan karena keistimewaan yang dimilikinya melebihi hari-hari yang lain di bulan Muharram.

Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar al Haitami dalam karyanya al Fatawa al Kubra al Fiqhiyyah, Imam Nawawi al Bantani dalam masterpiecenya Nihayatu al Zain, dan Abdullah Abdirrahman Bafadhal al Hadhrami dalam al Muqaddimah al Hadhramiyah.

Dari sederet nama ulama-ulama yang telah disebutkan semuanya memiliki kapasitas dan kapabilitas keilmuan yang diakui oleh ulama-ulama yang lain. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa puasa Tasu’a dan’Asyura merupakan puasa sunnah pada bulan Muharram yang keutamaannya sangatlah dahsyat.

Apa yang dikemukan oleh para ulama tersebut sebenarnya bukan pendapat yang tanpa dalil. Dengan kata lain, pendapat-pendapat tersebut sebenarnya berdasar pada hadis Nabi yang status dan kualitas hadisnya tidak diragukan.

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Jika aku masih hidup sampai tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari kesembilan” (HR. Muslim).

Yang dimaksud hari kesembilan pada hadis ini adalah hari kesembilan bulan Muharram dan puasa pada hari itu kemudian masyhur dengan sebutan puasa Tasu’a.

Hal ini diperkuat oleh hadis Nabi yang lain. Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Puasalah pada hari ‘Asyura dan bedakanlah diri kalian dengan kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”. (HR. Ahmad. Hadis marfu’).

Sedangkan untuk puasa ‘Asyura dianjurkan oleh Nabi setelah beliau hijrah dari Makkah ke Madinah. Sesampainya di Madinah Nabi mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura. Melihat hal itu beliau menganjurkan kepada para sahabat supaya berpuasa di hari ‘Asyura karena umat Islam lebih berhak untuk berpuasa di hari itu.

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Tatkala Nabi sampai di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa di hari ‘Asyura, beliau kemudian bertanya kepada mereka, “hari apa yang kalian sedang berpuasa sekarang ini”? Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung. Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya pada hari ini, maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai rasa syukur, dan kami turut berpuasa”.

Maka Rasulullah bersabda, “Kami dengan Musa lebih berhak dan lebih utama dari kalian, Maka Rasulullah berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasar pada hadis ini dan beberapa hadis tentang puasa ‘Asyura, maka mayoritas ulama menetapkan hukum puasa ini sebagai puasa sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan).

Sedangkan diantara keutamaan puasa ‘Asyura ini dijelaskan dalam hadis Nabi Riwayat Turmudzi dari Qatadah, bahwa Nabi bersabda, “Puasa hari ‘Asyura aku berharap kepada Allah supaya Ia mengampuni dosa-dosa setahun yang lalu”.

Keutamaan puasa ‘Asyura yang bisa menghapus dosa setahun ini juga diperkuat oleh hadis riwayat Imam Muslim, ketika Nabi ditanya tentang puasa ‘Asyura, beliau menjawab, “Dapat menghapus dosa setahun yang lalu”.

Inilah kedahsyatan dan keutamaan puasa Tasu’a dan ‘Asyura. Rugi rasanya apabila momentum bulan Muharram tidak dimanfaatkan dengan berpuasa sunnah. Terutama pada hari kesembilan dan kesepuluh yang disebut puasa Tasu’a dan ‘Asyura.

Bagikan Artikel ini:

About Khotibul Umam

Alumni Pondok Pesantren Sidogiri

Check Also

sirah nabi

Pesan Nabi Menyambut Ramadan

Bulan Ramadan, atau di Indonesia familiar dengan sebutan Bulan Puasa, merupakan anugerah yang diberikan Allah …

imam ahmad bin hanbal

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka …