etika mufasir
etika mufasir

Etika Seorang Mufasir

Selain kriteria dan syarat yang harus dipenuhi, ada pula etika mufasir yang harus dimiliki ketika seseorang bergelut dengan aktifitas penafsiran al-Qur’an.


Pepatah Arab mengatakan qimatul mar’i akhlaquh, nilai seseorang terletak pada budi pekertinya. Setinggi apapun derajat keilmuan seseorang jika tidak dihiasi dengan budi pekerti yang luhur nilainya akan rendah di mata masyarakat, lebih-lebih di hadapan Sang Pencipta.

Misi risalah Nabi Muhammad juga tidak terlepas dari term akhlak mulia. Al-Qur’an sebagai rujukan umat Islam memiliki kandungan yang secara global memiliki tiga kategori. Pertama, bersifat i’tiqadiyah, sesuatu yang berhubungan dengan ideologi dan sistem kepercayaan.

Kedua, bersifat ‘amaliyah, sesuatu yang berhubungan dengan perilaku dan interaksi, baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam beserta makhluk lain.

Ketiga, bersifat khuluqiyah, sesuatu yang berhubungan dengan etika dan tatakrama. Al-Qur’an sendiri memberikan porsi etika dan akhlak dalam pembagian globalnya. Hal ini menunjukkan perhatian Islam yang sangat tinggi dan urgensitas akhlak dalam semua aspek kehidupan.

Oleh sebab itu, seorang mufasir yang akan selalu bergaul, bersinggungan dan memfokuskan objek kajiannya terhadap Kitab Suci sangat laik jika harus mematuhi etika-etika tertentu sebagai karakter yang menghiasi perangai dan perilakunya.

Ulama’ memberikan beberapa kode etik bagi seorang mufasir dalam menjalankan profesinya sebagai figur yang hendak menyelami mutiara makna yang terkandung dalam Kalam Ilahi sebagaimana berikut:

Etika Mufasir

Pertama, didasari niat dan tujuan yang baik. Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya. Lebih-lebih aktifitas mentafsir harus mempunyai niat untuk menyebarkan kebaikan demi kemaslahatan agama, karena tafsir menjadi media umat Islam untuk memahami kandungan Al-Qur’an. Harus bersih dari tujuan-tujuan duniawi agar mendapat bimbingan menuju kebenaran.

Kedua, berbudi pekerti yang luhur. Seorang mufasir berposisi layaknya pendidik (muaddib). Pendidikan tidak akan meresap pada jiwa peserta didik kecuali dari seorang pendidik yang mampu memberikan suri tauladan yang baik dan keagungan budi pekertinya. Ketidak-selarasan antara ucapan dan perbuatan akan memalingkan peserta didik dari apa yang dipelajari dan dibaca, sehingga membekas dalam alam pikirannya.

Ketiga, mempunyai latar belakang atau track record yang baik. Profil figur seorang mufasir akan menjadi acuan, panutan, dan tolak ukur kapabelitas kedalaman ilmunya dalam persoalan agama. Tidak sedikit para pencari ilmu yang enggan menimba ilmu dari seseorang yang memiliki latar belakang kurang baik, meskipun keilmuannya diakui.

Keempat, sangat hati-hati dan teliti dalam mengutip sebuah riwayat, sehingga terhindar dari kekeliruan dan terbebas dari merubah teks.

Kelima, memiliki sifat rendah diri (tawadlu’). Keenam, menjaga prestise dan harga diri. Seorang mufasir harus berwibawa dan menghindari hal-hal yang jelek dan hina, semisal mengejar jabatan tertentu.

Ketujuh, lantang menyuarakan kebenaran, meskipun dirasa pahit dan tidak mengenakkan.

Kedelapan, menjaga ucapan, tidak banyak bicara, kecuali hal-hal yang penting dan bermanfaat. Cara duduk, berjalan, dan diam tampak berwibawa.

Kesembilan, menyajikan pemikiran dan perenungan yang runtut.

Kesepuluh, mengutamakan mufasir-mufasir terdahulu serta menganjurkan untuk membaca karya-karya mereka.

Kesebelas, menyajikan metode tafsir secara tertib dan berurutan. Misalnya, diawali dengan menyebutkan asbabun nuzul, mengurai arti kata perkata, menjelaskan susunan kalimat, aspek balaghah, lalu menarasikan makna kalimat secara global, menghubungkan dengan konteks realitas kehidupan, lalu menggali kandungan makna dan hukum. []   

Wallahu ‘alam

Referensi:

Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an.

Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Quran.

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …