jamaah perempuan
jamaah perempuan

Fikih Gender (11) : Perempuan Menunaikan Ibadah Haji Tanpa Suami

Ibadah Haji adalah cermin dari keimanan seseorang yang kian meletup letup. Setiap Muslimah yang kuat imannya pasti terpanggil jiwanya untuk menunaikannya. Karena ibadah ini—di samping merupakan rukun Islam yang kelima—juga bertabur hikmah dan keutamaan

Salah satunya mampu melebur dosa. Diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berhaji karena Allah, kemudian ia tidak berkata kotor dan berbuat fasik ( saat melakukan ibadah haji), maka ketika kembali kerumahnya, ia ibarat bayi yang baru dilahirkan ibunya (bersih tanpa noda dosa sedikitpun)”. HR: Bukhari: 1521.

Tetapi untuk mengecap dan merengkuh keutamaan berhikmah  itu, terdapat sebuah syarat tambahan bagi seorang Muslimah yang termasuk dalam istithaa’h-nya (syarat mampunya melakukan ibadah haji). Yaitu, harus disertai suami atau mahramnya. Lalu bagaimana fikih melihat hal ini? Bolehkah seorang wanita pergi melaksanakan haji tidak dengan ditemani suaminya? Adakah opsi yang meringankan langkah dan niatnya untuk berhaji?

Yang perlu diingat, bahwa tidak boleh menjadikan laki-laki lain sebagai mahram haji bagi seorang perempuan. Ikatan mahram hanya bisa disebabkan oleh hubungan nasab (ayah, Paman, Saudara Laki-laki dst (baca: Mahram), radla’ (saudara laki laki karena menyusu kepada perempuan yang sama) atau mushaharah (Mertua, Menantu dst).

Lalu bagaimana bila seseorang perempuan tidak memiliki mahram sama sekali? Ia wajib menunaikan haji bersama atau dengan ditemani suaminya. Bila suaminya tidak berkenan menemaninya dengan alasan ekonomis, maka ia boleh berangkat haji dengan memilih berada dalam satu rombongan ibadah haji wanita yang bimbing oleh wanita yang adil pula dengan syarat aman dari fitnah.

Jika perempuan tersebut belum bersuami dan tidak ada mahram yang bisa menemaninya, maka menurut al-Bujairami dan Dimyathi al-Bikri untuk haji fardlu, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan. Pertama, dia boleh bersama dengan seorang teman atau kenalan perempuan lain yang adil dan bisa dipercaya perangainya. Kedua, berhaji bersama seorang laki-laki yang tidak punya alat kelamin dan tidak memiliki shahwat. Ketiga, berhaji sendirian jika dia yakin aman dari fitnah. Bujairimi ala al Khatib 2/371, I’anat al Thalibin2/284

Jika ditela’ah secara akademis, aturan aturan ini sesungguhnya hanya hendak memberikan kenyamanan bagi perempuan dalam melaksanakan ibadah haji. Artinya, jika tanpa suami, atau perempuan yang bisa dipercaya untuk menjaganya, atau bahkan tanpa teman sekalipun perempuan itu mendapatkan kenyamanan ketika akan, sedang atau setelah beribadah, maka tentu itu boleh dilakukan.

Karena haji menurut KH. Afifuddin Muhajir, merupakan hak dan kewajiban beribadah bagi siapapun tanpa melihat gendernya. Yang terpenting memenuhi syarat wajibnya. Yaitu, Beragama Islam, berusia akil-baligh, orang merdeka (bukan budak sahaya), memiliki ONH sekaligus ada kendaraan yang bisa ditumpanginya, terjamin keamanannya saat melakukan perjalanan haji ke Mekah, serta masih ada waktu untuk melakukan ibadah haji. Fathul Mujib al-Qarib, , 63.

Maka jangan kebiri kebebasan perempuan untuk melakukan ibadah, senyampang masih dalam koridor terselamatkan dari fitnah yang dianggap terus mengintainya.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …