Politik bukan sesuatu yang terlarang dalam agama Islam. Islam bukan hanya agama an sich yang berisi ritual dan penyembahan semata. Islam adalah agama yang juga memiliki kaidah, etika dan norma dalam berpolitik. Sebab agama Islam menganjurkan untuk mengangkat seorang pemimpin (nasbul imam).
Tetapi aktifitas berpolitik dalam Islam harus mengikuti prinsip-prinsip dasar yang dijelaskan dalam al Qur’an dan hadits. Politik tidak bermakna siasat untuk memenangkan kontestasi dengan segala cara. Ada etika politik yang harus dipatuhi. Maka, Islam melarang beberapa aktifitas politik berikut.
Pertama, politisasi agama
Dr. Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair India, membedakan istilah “Politik Islam” dan “Islam Politik”. Politik Islam adalah siasat untuk merealisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan supaya keadilan bisa ditegakkan. Sedangkan Islam Politik adalah aktifitas sekelompok orang menggunakan simbol-simbol Islam untuk memperjuangkan kepentingan politik semata.
Kedua, barter fatwa dengan kepentingan politik
Fatwa politis atau barter fatwa dengan kepentingan politik dilarang dalam Islam. Ia sama halnya dengan menggadaikan agama. Misalnya, fatwa haram memilih pemimpin non muslim. Padahal tidak ada dalil qath’i (jelas dan tegas) tentang larangan tersebut. Fatwa sebagai legitimasi untuk menghalalkan berbagai tindakan politis sama halnya dengan memperdagangkan ajaran Islam.
Sayyid Maliki dalam Syari’atullah al Khalidah menjelaskan, politisasi fatwa tidak bertujuan untuk menampakkan kebenaran dan hukum Allah dalam suatu persoalan, namun semata-mata politisasi. Mereka bermaksud memaksakan fikih dan agama atas kepentingan politik dan memaksa fikih demi kepentingan politik, bukan untuk mengaktualisasikan politik yang bernuansa fikih.
Ketiga, politik dengan kecurangan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”. (QS. al Nahl: 90).
Curang berarti tidak adil dan menyalahi prinsip kebajikan dalam ajaran Islam. Islam melarang adanya kecurangan dalam politik (Pemilu) karena pasti menimbulkan mafsadat besar. Yang dinginkan oleh Islam adalah pemilu berkualitas sehingga memunculkan pemimpin yang berkualitas pula.
Sabda Nabi, …”Sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu menimbulkan kebimbangan”. (HR. Turmudzi)
Siasat dalam politik sah-sah saja asalkan tidak sampai melampaui batas “kejujuran” dengan menghalalkan ragam cara.
Nabi juga mengingatkan, “Sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka”. (HR. Bukhari).
Beginilah etika politik dalam Islam. Dalam berpolitik dituntut adanya kesadaran spiritual sehingga tidak memainkan “permainan tanpa batas” yang melanggar norma-norma agama. Tidak ada kedustaan dengan menunggangi agama sebagai kendaraan politik, tidak ada politisasi fatwa, intimidasi, saling menghina dan janji-janji muluk yang sangat rawan diingkari.