Haji backpacker, sebuah fenomena yang tengah menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia, menawarkan alternatif untuk menghindari antrean panjang jamaah haji reguler pemerintah. Metode ini, meskipun menarik bagi sebagian orang, sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, khususnya pada pasal 86 yang membahas perjalanan umrah harus melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Selama ini, pelaksanaan ibadah haji melalui dua jalur utama: kuota haji reguler dari pemerintah dan jamaah haji khusus melalui PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus). Namun, ada juga program haji mujamalah/furoda yang sah, karena mendapat kuota khusus dari pemerintah Arab Saudi berdasarkan undang-undang. Peserta haji mujamalah/furoda dapat berangkat tanpa harus mengantre.
Larangan terhadap haji backpacker dari pemerintah Indonesia memiliki alasan yang kuat, terutama terkait dengan keamanan, keselamatan, dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI). Penggunaan visa ziarah bukan visa haji dapat menyebabkan jamaah tidak mendarat langsung di Arab Saudi, melainkan di negara terdekat. Hal ini menyulitkan proses pengajuan izin masuk ke Jeddah atau Madinah dan berpotensi membahayakan bagi masyarakat yang tidak berpengalaman dalam bepergian ke luar negeri.
Metode pelaksanaan ibadah haji seperti ini seringkali menimbulkan risiko yang tinggi, terutama bagi jamaah yang tidak berpengalaman dalam perjalanan ke Arab Saudi. Haji backpacker tidak dapat diasuransikan dan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah atau KBRI selama berada di Arab Saudi, meningkatkan potensi risiko terhadap keamanan, keselamatan, dan kesehatan jamaah.
Penegasan bahwa untuk menunaikan ibadah haji, aturan yang berlaku tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Arab Saudi, menjadi sangat penting. Ketika melibatkan lintas negara, peraturan dari negara tujuan juga harus dihormati.
Beberapa penelitian menuliskan tentang berbagai tantangan dalam pengelolaan ibadah haji untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan pelaksanaannya, supaya pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan lancar dan aman bagi jamaah.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam pengelolaan ibadah haji adalah kapasitas infrastruktur yang terbatas. Setiap tahun, jutaan jamaah dari seluruh dunia berbondong-bondong menuju Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Namun, infrastruktur di Makkah dan Madinah seringkali tidak mampu menampung jumlah jamaah yang sangat besar tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan kemacetan, kepadatan, dan bahkan risiko kecelakaan di lokasi-lokasi suci.
Selain itu, manajemen logistik juga merupakan tantangan serius dalam pelaksanaan ibadah haji. Pengaturan transportasi, akomodasi, dan penyediaan layanan kesehatan untuk jutaan jamaah memerlukan perencanaan yang matang dan koordinasi yang efektif. Masalah logistik seperti kurangnya kendaraan, keterbatasan tempat tinggal, dan kurangnya fasilitas kesehatan dapat mengganggu pengalaman ibadah haji dan meningkatkan risiko kesehatan bagi jamaah.
Selain itu, keamanan juga menjadi perhatian utama dalam pengelolaan ibadah haji. Dengan jumlah jamaah yang sangat besar dan keberagaman asal negara mereka, menjaga keamanan di lokasi-lokasi suci menjadi tantangan yang kompleks. Diperlukan upaya koordinasi antara otoritas keamanan setempat, pemerintah Arab Saudi, dan negara-negara asal jamaah untuk memastikan keamanan dan ketertiban selama pelaksanaan ibadah haji.
Langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tidak bertujuan untuk menghambat ibadah seseorang, melainkan untuk memastikan keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan jamaah haji. Langkah-langkah ini diambil dengan pertimbangan atas berbagai risiko yang terkait dengan pelaksanaan haji backpacker, seperti risiko keamanan, kesehatan, dan logistik yang tinggi.
Dalam al-Qur’an ditegaskan tentang pentingnya menjaga keselamatan dan kesejahteraan, “Dan janganlah kamu membuat tanganmu sendiri masuk ke dalam kebinasaan (dengan perbuatan-perbuatan yang merugikan dirimu sendiri), dan berbuatlah kebaikan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. Al-Baqarah: 195)
Ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga diri dari segala bentuk bahaya dan merugikan diri sendiri. Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi mengambil langkah-langkah untuk mencegah jamaah haji dari melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri mereka sendiri, seperti pelaksanaan haji backpacker yang tidak teratur dan berpotensi menimbulkan risiko yang tinggi.
Dengan demikian, langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Arab Saudi bukanlah penghambat ibadah seseorang, tetapi merupakan upaya untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah haji, sesuai dengan ajaran Islam yang menempatkan keselamatan dan kesejahteraan sebagai prioritas utama.