Haji merupakan salah satu ibadah yang istimewa dalam Islam. Ia hanya diwajibkan satu kali seumur hidup. Namun, tidak semua orang Islam beruntung dapat melaksanakannya. Butuh kemampuan yang lebih untuk melaksanakan ibadah dalam bentuk ziarah spiritual ini.
Di Indonesia haji merupakan fenomena keagamaan yang sangat luar biasa. Jutaan umat Islam rela mengantre untuk memenuhi panggilan ke tanah suci ini. Antusiasme tinggi masyarakat muslim Indonesia menuntut pengolaan yang bijak oleh pemerintah. Karena sifatnya yang dikelola negara, haji merupakan ibadah yang sangat terkait kebijakan politik.
Dalam prakteknya, haji merupakan ibadah yang memerlukan intervensi negara secara lebih ketat. Pengaturan, pengelolaan hingga pembinaan umat calon ibadah haji sangat diperlukan dalam proses ibadah ini. Karena itulah, haji tidak bisa dipisahkan dari politik.
Tentu saja, pengertian politik di sini, bukan dengan konotasi politik praktis, walaupun pada prakteknya juga tidak jarangan haji dipolitisasi dan dijadikan komoditas politik. Maksud dari haji dalam jeratan politik di sini adalah persoalan intervensi kebijakan negara secara politik dalam pelaksanaan haji.
Haji dan politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejak dulu, bahkan zaman Nabi, politik menjadi salah satu syarat dalam pelaksanaan haji. Lihatlah bagaimana Nabi tidak bisa berangkat haji karena kebijakan dan pertimbangan politik kondisi Makkah saat itu. Begitu pula di Indonesia, haji sejak dulu telah berkelindan dengan persoalan politik.
Politik Kolonial Hingga Kemerdekaan dalam Pelaksanaan Haji
Pada abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda melihat haji sebagai ancaman. Para jemaah yang pulang dari Mekkah sering membawa ide pembaruan Islam dan anti-kolonial, seperti gerakan Pan-Islamisme. Untuk membendung “bahaya” ini, Belanda memberlakukan kebijakan restriktif, seperti pas hijau (izin khusus) dan pajak tinggi, yang membuat haji hanya terjangkau bagi kalangan elit.
Gelar “Haji” pun distigmatisasi sebagai simbol pemberontakan. Gelar hanya disematkan bagi mantan haji untuk memudahkan pengawasan. Gelar ini menjadi simbol negara untuk memetakan dan mengawasi pergerakan mereka yang sudah berhaji. Haji menjadi momo menakutkan Belanda karena adanya tukar silang pengetahuan dan informasi para jamaah di tanah suci.
Pasca-kemerdekaan, negara mengambil alih peran sentral. Kementerian Agama, didirikan pada 1946, menjadi institusi yang mengatur haji sebagai bagian dari proyek nation-building. Pengelolaan haji diresmikan pada 1950, menandai transisi dari ritual individu menjadi urusan negara. Di sini, negara tidak hanya menjamin akses ibadah, tetapi juga menggunakan haji untuk membangun identitas nasional yang inklusif di tengah pluralisme agama. Namun, ketegangan muncul ketika kelompok Islamis mengkritik negara dianggap terlalu sekuler dalam mengatur urusan agama.
Orde Baru: Haji sebagai Alat Kontrol Politik
Di era Suharto (1966–1998), negara mengubah haji menjadi instrumen stabilisasi politik. Melalui pendirian Biro Perjalanan Haji (PPIH) dan Dana Haji yang dikelola Bank Tabungan Negara (1969), negara mengonsolidasikan kendali atas proses keberangkatan, logistik, dan keuangan haji. Kuota jemaah dibatasi secara ketat, dan narasi keagamaan diarahkan untuk mendukung stabilitas rezim.
Di balik fasilitas yang ditingkatkan, seperti asrama haji dan pelatihan manasik, terselip motif politis: merangkul umat Muslim tanpa memberi ruang bagi gerakan Islam radikal. Pendanaan haji juga menjadi alat ekonomi politik. Dana triliunan rupiah dari tabungan jemaah dimanfaatkan untuk proyek pembangunan, meski kerap disalahgunakan—seperti terungkap dalam skandal korupsi dana haji tahun 2000-an.
Reformasi: Antara Demokratisasi dan Komersialisasi
Pasca-1998, desentralisasi dan kritik terhadap korupsi mendorong reformasi pengelolaan haji. Pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pada 2017 melalui UU No. 34/2014 menjadi terobosan untuk meningkatkan transparansi. Sistem e-Haji diperkenalkan guna mengurangi manipulasi antrean yang pernah mencapai 30 tahun. Swasta juga dilibatkan dalam penyediaan layanan, mencerminkan tren liberalisasi sektor agama.
Namun, reformasi belum sepenuhnya menjawab masalah mendasar. Kuota haji Indonesia (221 ribu jemaah/tahun) tetap tak sebanding dengan permintaan (2,4 juta antrean pada 2023). Biaya haji yang terus naik (Rp 69 juta untuk reguler, 2024) juga mengubah haji dari kewajiban universal menjadi “barang mewah” yang hanya bisa diakses kalangan mampu. Di sisi lain, dana haji senilai Rp 150 triliun (2023) diinvestasikan dalam obligasi dan saham, memicu debat etis: apakah negara berhak mengomersialkan dana ibadah?
Skandal korupsi haji menjadi sangat rawan terjadi. Pada tahun 2014, secara mengejutkan KPK menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali kala itu sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji. Sebelumnya, Menteri Aama Periode 2001-2004 Said Agil Husin al Munawar juga tersangkut korpsi dalam pengelolaan dana abadi umat. Pada tahun 2006, sang Menteri dinyatakan terbukti bersalah.
Negara vs. Agama: Dilema Pengelolaan Haji
Pengelolaan haji di Indonesia memperlihatkan paradoks: negara ingin menjadi fasilitator netral, tetapi sekaligus tak bisa melepaskan diri dari intervensi. Dalam UU No. 8/2019 tentang Penyelenggaraan Haji, negara menegaskan komitmen melindungi jemaah, tetapi juga memperkuat kendali birokrasi. Misalnya, aturan kuota dan sistem antrean diatur ketat, sementara diplomasi dengan Arab Saudi menjadi bagian dari politik luar negeri.
Di sisi lain, negara harus berhadapan dengan ekspektasi umat Muslim yang menganggap haji sebagai hak spiritual, bukan sekadar layanan publik. Protes kerap muncul ketika kebijakan dianggap tidak adil, seperti pembatalan haji akibat pandemi COVID-19 atau ketidakjelasan alokasi dana. Di sini, negara terjebak dalam dualitas: sebagai regulator yang harus rasional dan sebagai “penjaga moral” yang diharapkan memprioritaskan nilai-nilai agama.
Pada tahun 2024, Pemerintahan baru Prabowo Subiyanto-Gribran membentuk Badan Haji dan Umroh sebagai lembaga mandiri yang terpisah dari Kementerian Agama. Tujuannya adalah agar lebih memfokuskan badan ini dalam peningkatan penyelenggaraan ibadah haji. Namun, pertanyaannya, akankah badan ini mampu menyelesaikan sengkarut problem haji di Indonesia?
Masa Depan Pengelolaan Haji: Menuju Keadilan Sosial
Tentu ada banyak PR yang harus diselesaikan dalam pelaksanaan haji. Pengelolaan haji tidak boleh terjebak dalam pragmatisme politik dan ekonomi. Indonesia perlu merevitalisasi tiga aspek:
- Transparansi Dana: BPKH harus memastikan investasi dana haji beretika dan menguntungkan jemaah, bukan hanya korporasi.
- Digitalisasi Layanan: Sistem antrean berbasis teknologi harus diperluas untuk mencegah manipulasi, dengan memprioritaskan jemaah lansia dan kurang mampu.
- Diplomasi Kultural: Pemerintah perlu memperjuangkan peningkatan kuota haji melalui diplomasi budaya dengan Arab Saudi, mengingat kontribusi Indonesia dalam menjaga perdamaian global.
Sejarah pengelolaan haji di Indonesia adalah narasi tentang bagaimana negara bernegosiasi dengan agama. Dari alat kontrol kolonial, instrumen politik Orde Baru, hingga komoditas era Reformasi, haji tetap menjadi medan pertarungan antara idealisme keagamaan dan logika negara. Tantangan ke depan adalah memastikan haji tidak kehilangan makna spiritualnya di tengah birokrasi yang kompleks. Negara harus mengakui bahwa pengelolaan haji bukan sekadar urusan logistik, tetapi juga ujian bagi komitmennya terhadap keadilan sosial dan hak konstitusional warga.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah