al quran hadits
hadist

Hati-Hati dalam Menyampaikan Hadits

Berdusta adalah perbuatan yang dilarang di dalam Islam tetapi seringkali disepelekan oleh banyak orang. Padahal berdusta dapat menyebabkan kerusakan tatanan masyarakat menjadi rusak. Sebab itu, Nabi saw dengan tegas memperingati umatnya tentang ancaman berdusta. Di dalam Hadits disebutkan:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ

Artinya: “Berhati-hatilah kalian kepada berdusta, karena sesungguhnya berdusta dapat mengantarkan seseorang kepada kemaksiatan. Dan kemaksiatan dapat mengantarkan seseorang kepada neraka” (HR. Muslim dan lainnya)

Berdusta dengan bentuk apapun hukumnya haram. Lebih-lebih berdusta atasnama Nabi saw. Di dalam hadits disebutkan:

مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Artinya: “Barangsiapa yang berkata atasnama saya, tentang apa yang tidak saya katakan, maka tempatilah tempatnya nanti di neraka” (HR. Bukhari dan lainnya)

Sebab itu, ulama’ melarang mengamalkan hadits maudhu’ karena hadits tersebut secara teori ilmu hadits yang disepakati sebagai jalan mengoreksi kebenaran informasi dan maknanya menyatakan seratus persen bukan dari Nabi saw. Hadits maudhu’ boleh diamalkan dengan beberapa catatan. Di antaranya, makna dari hadits tersebut harus inklud di dalam makna hadits shahih. Dan dalam menyampaikan hadits tersebut tidak boleh secara terang-terangan menisbatkan kepada Nabi saw. Tetapi cukup mengatakan “ada hadits yang menjelaskan…”.

Bagaimana dengan penafsiran terhadap hadits, apakah termasuk berdusta atasnama Nabi saw ?

Orang yang menyampaikan hadits maudhu’ dan ia tahu bahwa hadits tersebut bukan dari Nabi saw tetapi tetap menyebutkan bahwa itu datang dari Nabi saw maka hukumnya tetap haram. Di dalam kitab Qawaidu Ushulil Hadits dijelaskan:

وَأَمَّا مَنْ رَوَى شَيْئًا مِنْهَا دُوْنَ أَنْ يُوْضِحَ أَنَّهَا مَوْضُوْعَةٌ وَهُوَ يَعْلَمُ هَذَا فَإِنَّهُ آثِمٌ

Artinya: “Orang yang meriwayatkan hadits maudhu’ tanpa menjelaskan bahwa hadits tersebut maudhu’ sementara ia sendiri mengetahui hal tersebut maka berdosa”

Hal ini berbeda dengan menafsirkan hadits. Seperti apa yang disampaikan oleh ulama’ Syafi’iyah bahwa orang shalat harus membaca surat al Fatihah, jika tidak membacanya, maka shalatnya tidak sah. Ketentuan hukum ini berangkat dari penafsiran sabda Nabi saw:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca fatihahnya kitab” (HR. Bukhari dan lainnya)

Penafsiran hadits ini berbeda dengan penafsiran madzhab Hanafi yang membolehkan shalat tidak membaca surat al Fatihah, yang penting membaca sebagian ayat-ayat yang terdapat dalam al Qur’an.

Penafsiran terhadap hadits seperti ini tidak dianggap berdusta atasnama Nabi saw. Sebab Nabi saw secara teori ilmu Hadits kemungkinan besar memang menyampaikannya. Hanya saja dalam memahami apa yang disampaikan Nabi saw ulama’ berbeda-beda.

Hikmah dari hal ini adalah agar setiap orang tidak sembarang dalam menyampaikan hadits. Artinya hadits yang disampaikan perlu diketahui sebelumnya tentang kwalitasnya apakah memungkinkan datang dari Nabi saw atau tidak. Hal ini agar tidak terjadi dusta atasnama Nabi saw sehinggat terancam masuk neraka.

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

membaca al-quran

Membaca Al Qur’an di Kuburan Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah

Di antara tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu melakukan ziarah kubur. Bahkan menurut Ibn Hazm sebagaimana …

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …