penyerang polsek
penyerang polsek

Hikayat Para Penyerang Markas Polisi dan Pemaknaan Thagut dan Jihad yang Sesat

Bukan pertama kalinya cerita Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) dan markas kepolisian mendapatkan serangan teror. Mungkin ini pula menjadi catatan bagi aparat untuk semakin meningkatkan kewaspadaan. Bukan memberikan tanggapan “lebay”, tetapi memang ada pergeseran pola dan target dari kelompok teror dalam menjalankan aksinya. Dari target representasi Barat menuju musuh dekat pemerintah, terutama aparat kepolisian.

Tepat pada peringatan hari Lahir Pancasila (1/6/2020), Kantor Kepolisian Sektor Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan diserang pelaku yang membawa atribut ISIS. Pelaku melancarkan aksinya dengan sebuah samurai yang merenggut satu korban dari anggota kepolisian setempat.

Pada tahun yang lalu, saat umat Islam sedang khusu’ berjihad di bulan Ramadan ingin meraih ampunan di 10 akhir Ramadan ledakan tak terduga terjadi. Seorang remaja, RA (23) meledakkan diri di pos Polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah (3/6/2019). Siapa sangka, ia sudah berbai’at ke Pimpinan ISIS, Abu Bakar al Baghdadi sejak tahun 2018 silam. Sejak saat iu ia aktif berkomunikasi melalui medsos dan internet dengan kelompok ISIS yang saat ini telah luluhlantah di Irak dan Suriah.

Tak selang waktu yang lana, pada sabtu (17/8/2019) seorang pemuda berinisial IM (30) menyerang anggota kepolisian Polsek Wonokromo, Surabaya dengan celurit. Akibatnya, korban mengalami luka sabetan di bagian kepala dan tangan. Pelaku berpura-pura membuat laporan pengaduan. Namun, saat petugas mengambil kertas, pelaku mengeluarkan senjatanya dari dalam tas dan melompat menyerangnya.

Dari bukti yang bisa diambil dari kejadian tersebut ditemukan tas milik pelakuyang berisi sejumlah benda, seperti senjata tajam, ketapel dengan peluru kelereng, airsoft gun, makanan, dan kertas yang dipenuhi banyak logo ISIS. Kepala Polisi Republik Indonesia saat itu, Tito Karnavian, mengatakan pola penyerang ini mengalami self radicalism atau radikalisasi diri sendiri dengan melihat internet. Pelaku meyakini pemahaman jihad versi dirinya dari internet dan menganggap menyerang polisi sebagai thogut adalah mendapatkan pahala.

Pun tak butuh waktu yang panjang, Polrestabes Medan dikejutkan dengan serangan yang relatif besar, bom bunuh diri. Sekitar 08.45 WIB, Rabu (13/11/2019) seorang pria dengan atribut ojek online berjalan ke lapangan parkir dengan alasan untuk mengurus SKCK. Pelaku inisial RMN (24) berstatus pelajar/mahasiswa. RMN diduga melilitkan bom itu di tubuhnya. Potongan tubuhnya berceceran di halaman Mapolrestabes Medan.

Akibat ledakan itu juga enam korban terluka, masing-masing empat polisi, satu pegawai harian lepas (PHL), dan satu warga sipil. Selain itu, ledakan bom bunuh diri tersebut mengakibatkan sejumlah kendaraan rusak. Tiga di antaranya kendaraan dinas dan satu kendaraan pribadi.

Bermodal Narasi Thagut dan Jihad dari Online

Entah apa yang ada dalam pemikiran mereka para penyerang markas polisi tentang makna thagut dan jihad. Mereka seperti mati akal sehatnya sehingga berani memaknai jihad dalam bentuk kekerasan dan kepada aparat polisi yang dianggap sebagai thagut sekalipun muslim.

Ada benang merah yang cukup untuk segera diwaspadai dan jadi pelajaran bagi kita bersama, proses radikalisasi secara online dan aksi tunggal (lone wolf). Orang dengan pengetahuan keagamaan yang dangkal mudah sekali mencari informasi pengetahuan keagamaan di internet. Rasa heroik ingin membela agama bertemu dengan doktrin takfiri yang mengkafirkan siapapun yang berbeda. Dan orang kafir halal darahnya.

Ketika mereka sudah mendapatkan keteguhan keyakinan tentang doktrin thagut dan jihad untuk selanjutnya mereka bergegas menyiapkan aksi atau amaliah dalam istilah mereka. Perlengkapan aksi seperti bom bisa didapatkan secara otodidak melalui internet atau dengan alat seadanya yang penting mampu melancarkan aksinya.

Tak jarang pisau, pedang, samurai dan celurit dalam kasus di atas merupakan alat teroris yang terkesan buru-buru untuk melancarkan aksi seadanya. Hatinya sudah dipenuhi dengan kebencian terhadap yang dipandang thagut terutama aparat kepolisian yang dalam pandangan mereka adalah penghalang bagi tegaknya khilafah. Polisi sebagai representasi dari Densus 88 sebagai musuh para teroris.

Dalam berbagai kasus aksi di markas kepolisian tersebut, sebagian besar adalah lulusan terbaik dari doktrin jihad online yang dilakukan kelompok radikal. Tidak bertemu langsung, tetapi keduanya menyatakan kesediaan dan kesetiaan untuk bergabung dengan kelompok radikal. Mereka tidak terikat dengan jaringan yang ada, tetapi tumbuh sebagai pejuang tunggal dalam melancarkan aksinya (lone wolf).

Pemuda yang Tersesat

Apabila diamati hampir semua pelaku adalah generasi muda dengan kisaran usia 20-35 tahun. Fenomena ini menjadi sangat mengkhawatirkan. Anak muda yang banyak meluangkan waktu interkasi dan komunikasi dikhawatirkan akan berjumpa di tengah perselancaran tanpa batas di dunia maya dengan kelompok radikal dengan kedok pengajian dan ceramah keagamaan.

Ketika keyakinannya sudah berubah dan tumbuh pemahaman aksi jihad yang sesat. Doktrin yang mengajarkan yang berbeda sebagai musuh. Doktrin yang mengajarkan melawan pemerintahan yang sah karena dipandang thagut. Doktrin yang menghalalkan darah mereka yang berbeda agama, bahkan berbeda pandangan dan keyakinan.

Jihad yang luas maknanya kemudian diterjemahkan dalam bentuk yang sempit. Jihad yang berdimensi damai diterjemahkan dengan kekerasan. Dan Jihad untuk membela kemanusiaan justru dilancarkan untuk menumpahkan darah manusia yang tak berdosa. Jihad sebagai ibadah mulia kemudian dikotori dengan perilaku penuh nafsu dan kesetanan.  

Miris sekali melihat generasi muda yang tersesat dengan dimulai tertarik dengan doktrin-doktrin keagamaan yang emosional, heroisme, dan sok berani membela agama dengan perang di tengah kondisi damai. Mereka mulai menyatakan diri berbeda dengan yang lain dengan luapan kebencian. Cenderung tertutup dan tidak bergaul dengan sekitar yang dianggap bagian dari kekufuran.

Jika belum percaya, tengoklah ruang medsos anda ketika bertemu dengan tipologi pemuda semacam ini. Berapa banyak mereka yang komentar santun ketika berbicara agama, dibandingkan dengan komentar meledak-ledak seolah sedang membela agama. Pemuda dengan karakter yang sudah keras sulit ditembus pengetahuan. Mereka akan mudah merasa benar dengan ketidaksantunannya sebagai bentuk pembelaan ajara.

Generasi muda harus diselematkan. Islam akan menghadapi fitnah besar yang dimulai dengan tindakan kerusakan yang dilakukan secara “bodoh” oleh para generasi berikutnya. Generasi yang merasa membela Islam, tetapi justru menurunkan harkat martabat ajaran keislaman. Generasi yang merasa membawa kemurnian Islam tetapi justru mengotori dengan aksi tidak santun dan kekerasannya. Selamatkan generasi muda kita dari doktrin dan ajaran yang menyesatkan yang menjadi pemicu fitnah terhadap agama Islam.

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …