di dalam masjid

Hukum Menyaringkan Suara di dalam Masjid Menurut Empat Madzhab

Fatwa lain Assim al Karim yang menuai kontraversi yaitu tentang takbir yang dinyaringkan saat di dalam masjid. Menurutnya, menyaringkan takbir dalam sebuah pengajian di dalam masjid tidak memperhatikan etika di dalam masjid. Seharusnya itu tidak dilakukan.

Sebelumnya, juga banyak tokoh-tokoh yang sepaham dengan Assim al Karim seperti Rasyid Ridha juga melarang menyaringkan suara di dalam masjid. Adapun dalil yang digunakan antara lain yaitu:

اِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِيْ رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ فَلْيَنْظُرْ مَا يُنَاجِيْهِ وَلَا يَجْهَرُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

Artinya: Sesungguhnya orang yang shalat ia sedang bermunajah kepada Tuhannya azza wa jall, maka perhatikanlah tentang apa yang ia munajahkan, dan jangan sekali-kali di antara kalian menyaringkan suaranya atas yang lain dengan bacaan al Quran (HR. Ahmad bin Hanbal)

Hadits di atas sebenarnya tidak kuat dijadikan dasar mengharamkan bertakbir dengan nyaring di dalam masjid, kecuali sekedar dipaksa-paksakan saja.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi catatan penting terkait hadits tersebut. Pertama, hadits tersebut berkaitan dengan mengganggu orang melakukan shalat sebab ada kebisingan. Kedua, larangan tersebut hakikatnya bukan hanya di masjid, tetapi kebisingan apapun yang dapat mengganggu orang shalat masuk ke dalam larangan tersebut.

Kesimpulan tersebut dapat diperhatikan dari bunyi hadits itu sendiri, di mana sebelumnya Nabi saw menjelaskan bahwa shalat merupakan keadaan dimana seorang hamba bermunajat kepada Tuhannya. Orang yang sedang bermunajat kepada Allah swt seyogyanya dengan hati tenang dan nyaman. Sebab itu, manakala ada yang mengganggu ketika dalam kondisi ini, tentu layak disalahkan, sekalipun itu perbuatan sunnah seperti membaca al Qur’an.

Nah bagaimana menurut pandangan empat madzhab Fiqh Ahlussunnah wal Jamaah tentang menyaringkan takbir saat pengajian umum yang dilakukan di dalam masjid ?

Mari kita lihat bagaimana pendapat ulama’ empat madzhab fiqh yang tidak jarang juga diklaim sebagai madzhabnya Wahhabi.

Pendapat madzhab Hanafi:

اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا : يُكْرَهُ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ فِي الْمَسْجِدِ إِنْ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ تَهْوِيْشٌ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ أَوْ إِيْقَاظٌ لِلنَّائِمِيْنَ وَإِلَّا فَلَا يُكْرَهُ بَلْ قَدْ يَكُوْنُ أَفْضَلَ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ إِيْقَاظُ قَلْبِ الذَّاكِرِ وَطَرْدُ النَّوْمِ عَنْهُ وَتَنْشِيْطُهُ لِلطَّاعَةِ. أَمَّا رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْكَلَامِ فَإِنْ كَانَ بِمَا لَا يَحِلُّ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ تَحْرِيْمًا وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَحِلُّ فَإِنْ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ تَهْوِيْشٌ عَلَى الْمُصَلِّي أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ كُرِهَ وَإِلَّا فَلَا كَرَاهَةَ

Artinya: Madzhab Hanafi berkata: Makruh menyaringkan suara saat berdzikir di masjid, jika dalam menyaringkannya itu berkaitan dengan mengganggu terhadap orang yang shalat atau dapat mengganggu orang yang tidur. Namun jika tidak demikian, maka tidak makruh. Bahkan kadang-kadang menjadi lebih utama jika ternyata dengan dinyaringkannya tersebut dapat membangkitkan hatinya orang yang berdzikir, menjauhkan dari rasa kantuk dan giat kepada ketaatan. Adapun menyaringkan suara pembicaraan, maka jika yang dibicarakan hal-hal yang haram, maka hukumnya makruh tahrim, jika hal-hal yang halal, tetapi dapat mengganggu orang yang shalat dan semacamnya, maka makruh, jika tidak maka tidak makruh

Pendapat Madzhab Maliki:

اَلْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا : يُكْرَهُ رَفْعُ الصَّوْتِ فِي الْمَسْجِدِ وَلَوْ بِالذِّكْرِ وَالْعِلْمِ

Artinya: Madzhab Maliki berkata: Makruh menyaringkan suara di dalam masjid, walaupun dengan dzikir dan belajar

Pendapat Madzhab Syafi’i:

اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : يُكْرَهُ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ فِي الْمَسْجِدِ إِنْ هَوَّشَ عَلَى مُصَلٍّ أَوْ مُدَرِّسٍ أَوْ قَارِئٍ أَوْ مُطَالِعٍ أَوْ نَائِمٍ لَا يُسَنُّ إِيْقَاظُهُ وَإِلَّا فَلَا كَرَاهَةَ. أَمَّا رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْكَلَامِ فَإِنْ كَانَ بِمَا لَا يَحِلُّ كَمُطَالَعَةِ الْأَحَادِيْثِ الْمَوْضُوْعَةِ وَنَحْوِهَا فَإِنَّهُ يَحْرُمُ مُطْلَقًا. وَإِنْ كَانَ بِمَا يَحِلُّ لَمْ يُكْرَهْ إِلَّا إِذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ تَهْوِيْشٌ وَنَحْوُهُ

Artinya: Madzhab Syafii berkata: Makruh menyaringkan suara dengan dzikir di dalam masjid jika dapat mengganggu terhadap orang yang shalat, pengajar, orang yang membaca al Quran, orang belajar atau orang tidur yang tidak sunnah dibangunkannya, jika tidak maka tidak makruh. Sementara menyaringkan berbicara, maka jika pembicaraannya tentang hal-hal yang tidak halal seperti membahas hadits-hadits palsu dan semacamnya, maka hukumnya haram secara mutlak. Jika tentang hal-hal yang halal maka tidak makruh, kecuali dapat mengganggu orang yang shalat dan semacamnya

Pendapat madzhab Hanbali:

اَلْحَنَابِلَةُ قَالُوْا : رَفْعُ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ فِي الْمَسْجِدِ مُبَاحٌ إِلَّا إِذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ تَهْوِيْشٌ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ وَإِلَّا كُرِهَ أَمَّا رَفْعُ الصَّوْتِ فِي الْمَسْجِدِ بِغَيْرِ الذِّكْرِ فَإِنْ كاَنَ بِمَا يُبَاحُ فَلَا كَرَاهَةَ إِلَّا إِذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ تَهْوِيْشٌ فَيُكْرَهُ وَإِنْ كَانَ بِمَا لَا يُبَاحُ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ مُطْلَقًا

Artinya: Madzhab Hanbali berkata: Menyaringkan suara dalam berdzikir di masjid hukumnya mubah, kecuali dapat mengganggu kepada orang yang shalat, jika tidak mengganggu maka tidak makruh. Sementara menyaringkan suara bukan dalam rangka berdzikir, maka jika yang dibicarakan tentang hal-hal yang diperbolehkan, maka hukumnya tidak makruh. Jika dapat mengganggu orang lain, maka makruh. Tetapi jika yang dibicarakan hal-hal yang dilarang, maka makruh

Dari pernyataan empat madzhab di atas, ada tiga kesimpulan hukum yang dibahasnya:

  1. Menyaringkan suara dalam rangka berdzikir atau semacam membaca al Qur’an
  2. Ngobrol dengan nyaring tentang hal-hal yang tidak dilarang
  3. Ngobrol dengan nyaring tentang hal-hal yang dilarang

Berkaitan dengan menyaringkan suara dalam berdzikir, hanya madzhab Maliki yang memakruhkan secara mutlak. Sedangkan tiga madzhab yang lain masih dikaitkan dengan mengganggu atau tidak terhadap orang lain yang sedang beribadah. Jika tidak mengganggu, maka hukumnya tetap sunnah.

Kemudian, tentang ngobrol di masjis, jika yang dibahas hal-hal yang memang diperbolehkan, maka sama sekali tidak ada yang melarangnya. Yang dilarang jika yang dibahas hal-hal yang memang sejak awal dilarang. Itu pun tidak sampai pada tingkatan haram, hanya saja makruh.

Dari hal ini maka dapat kita petik kesimpulan, larangan berdzikir, membaca al Qur’an dan berbicara di dalam masjid bukan karena dzat masjid, melainkan karena masjid pada biasanya tempat orang beribadah sehingga terganggu oleh kebisingan tersebut. Namun demikian, dari keempat madzhab tersebut tidak ada seorang pun yang sampai mengharamkan berdzikir dengan nyaring di dalam masjid, lebih-lebih tidak mengganggu kepada siapapun. Lalu, adakah yang terganggu ketika takbir yang merupakan dzikir ketika dinyaringkan pada awal pengajian dalam rangka membangkitkan semangat hadirin?

Wallahu alam

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

membaca al-quran

Membaca Al Qur’an di Kuburan Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah

Di antara tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu melakukan ziarah kubur. Bahkan menurut Ibn Hazm sebagaimana …

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …