Dalam bahasa Arab, demonstrasi semakna dengan muzhaharat. Anjuran maupun larangan aksi turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi ini secara tersirat tidak dijumpai baik dalam al Qur’an maupun hadis. Jika demikian, alur pembahasannya dikembalikan pada kaidah “Hukum asal sesuatu selain ibadah adalah boleh selama tidak dalil yang melarangnya”.
Dengan demikian, demo adalah sah-sah saja untuk dilakukan selama mafsadahnya lebih kecil dari maslahatnya. Jika sebaliknya, maka tindakan ini tidak boleh dilakukan. Karena “Menolak mafsadah wajib didahulukan dari memperoleh maslahah”. Sebab itu, tindakan anarkis dalam demo tidak dibenarkan.
Apakah hukum asal kebolehan demo ini berlaku secara umum?. Tentu saja jawabannya “ia” selama tidak ada dalil yang melarangnya karena faktor lain (‘awarid). Artinya, bolehnya melakukan demo bisa batal karena kepentingan yang lebih dianjurkan oleh agama.
Contoh sederhananya adalah para pelajar yang ikut aksi demonstrasi penolakan terhadap undang-undang cipta kerja baru-baru ini. Pelajar STM ikut melakukan demo bergabung dengan para mahasiswa dan aliansi buruh.
Ada dua spirit syariat yang pada siswa STM maupun para pelajar sekolah menengah yang lain ketika harus turun ke jalan melakukan aksi. Pertama, menyuarakan kebenaran andaikata memang ada ketidakadilan pada undang-undang cipta kerja itu. Dan, kedua adalah kewajiban menuntut ilmu.
Untuk menjawab boleh dan tidaknya pelajar ikut demo harus mempertimbangkan kemaslahatan terbesar dari dua item di atas. Sebagaimana dimaklum, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi semua umat Islam. Sedangkan aksi turun ke jalan menyuarakan aspirasi hukumnya hanya mubah (boleh), bahkan haram kalau sampai melakukan anarkisme. Dari sini sudah bisa dipahami mana di antara menuntut ilmu atau ikut demo yang lebih penting.
Alasan lain, penyampaian aspirasi bisa dengan cara menunjuk perwakilan. Tidak harus semua elemen masyarakat harus terlibat dengan cara turun ke jalan. Bukankah, pentingnya konsentrasi menuntut ilmu, terutama ilmu agama telah ditegaskan oleh al Qur’an?.
Allah berfirman, “Tidak sepatutnya bagi orang mukmin pergi semuanya (ke Medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan dari mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali padanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. al Taubah: 122).
Dalam hal jihad saja masih diperintahkan untuk tetap ada sebagian orang yang konsen dalam hal pengetahuan agama, apalagi hanya menyampaikan aspirasi yang bisa dilakukan dengan cara perwakilan. Sebab bagaimanapun, peradaban Islam akan maju seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dan, agama Islam hanya akan berkembang pesat bila penguasaan penganutnya terhadap ilmu agama meningkat.
Spirit “Iqra” sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Nabi menekankan pentingnya terhadap belajar ilmu pengetahuan. Sejarah membuktikan, peradaban Islam masa keemasan maju sebab tumbuhnya semangat menuntut ilmu yang tinggi. Islam tampil terdepan kala itu dalam berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, antropologi, biografi, dan bidang keilmuan yang lain. Tokoh-tokoh intelektual Islam bermunculan mewarnai perkembangan peradaban agama Islam saat itu.
Saat ini, apakah kita sebagai pelajar mesti ikut gejolak arus pertarungan yang lebih dominan warna politiknya ketimbang tujuan mulianya?. Sekali lagi, untuk membangun bangsa yang maju dan bermartabat mesti harus memperkuat generasi muda dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Dan, sebagai generasi muda kita harus memilih tujuan jangka panjang yang lebih bermanfaat dari pada sekadar huru hara yang justru terkadang membawa pada akibat yang fatal.
Untuk itu, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para pelajar sejatinya merupakan sesuatu yang kurang bermanfaat. Sebab tugas mereka adalah konsentrasi dalam menimba ilmu pengetahuan supaya kelak, sesudah para pemimpin tua dipanggil oleh Allah, generasi muda saat ini mampu tampil gemilang dan mengukir prestasi yang lebih baik dari generasi tua saat ini.